Langsung ke konten utama

Enam belas

Kala Hatiku hancur


Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi sebelumnya,
Bahwa di antara keinginan dan harapan ada suatu hal yang tidak pernah terealisasi,
Bahwa diantara realita dan ekspetasi, ada suatu hal yang menyakitkan hati,
Mulanya aku kira akan mendapatkan jawaban sesuai dengan harapanku,
Mulanya aku menduga akan mendapatkan jawaban sesuai dengan ekspetasiku,
Namun semua hanya lah angan-anganku yang terlalu jauh.


Aku merasa menjadi lelaki yang paling sedih pada saat ini,
Semua berubah begitu cepat,
Kemarin aku merasa bahwa dunia hanyalah milikku bersamamu,
Namun sekarang semestamu tidak lagi menjadi semestaku,
Kemarin langit tampak selalu cerah berwarna biru,
Namun saat ini langit tampak hitam sayu,
Kemarin senyummu adalah obat paling ampuh dari segala sedihku,
Namun sekarang senyummu adalah sebab terciptanya kesedihanku,
Kemarin wajahmu selalu menciptakan cahaya di setiap hari-hariku,
Namun sekarang wajahmu menjadi aktor utama dalam gelapnya hari-hari dalam hidupku.


Untuk saat ini aku hanya ingin lupa ingatan,
Ingin lupa segala hal tentang dirimu,
Aku ingin lupa segala hal yang  pernah aku lakukan bersamamu,
Aku ingin lupa tentang apa saja yang sudah kau berikan padaku,
Aku ingin lupa pada setiap senyummu yang biasanya mendamaikanku,
Aku ingin lupa pada sifat kekanakanmu yang seringkali menjadi sumber kebahagiaanku,
Aku sekarang berada di dimensi asing,
Berada di dunia yang tak seharusnya aku pijak,
Berada ditempat yang tak seharusnya aku singgahi.


Kau yang jahat atau memang aku saja yang terlalu baik padamu,
Hingga memberikan seluruh hatiku padamu,
Kau yang kejam atau memang aku saja yang terlalu lembut padamu,
Hingga membiarkanmu memupuskan segala harapanku,
Kau yang seorang pembunuh atau memang aku saja yang bodoh, datang hanya untuk membunuh hatiku di hadapanmu.


Segala yang aku berikan tidak berbalas dengan apa yang aku harapkan,
Kau campakkan harapanku,
Kau sama sekali tidak memperdulikan pengorbanan yang telah aku lakukan untukmu,
Pada kenyataanya, lau tidak lebih menggangapku sebagai seorang teman di dalam hidupmu,
Kau hanya menjadikanku sebagai tempat untuk bercerita,
Kau hanya menjadikanku sebagai tempat kau mengadu,
Kau hanya menjadikanku sebagai kompas tatkala kehilangan arah.


Aku menghirup kopi hitamku dalam-dalam,
Meresapi setiap pahitnya dengan penuh keikhlasan,
Bukan dirimu yang harusnya aku salahkan,
Harusnya aku yang mesti sadar diri karena terlalu menggantungkan harapan,
Mulai saat ini, aku harus menerima kenyataan bahwa harapan yang aku inginkan,
Harus rela aku lepaskan.


Sebagai seorang lelaki dewasa yang sudah melewati berbagai ujian kehidupan,
Aku harus kuat dengan segala keadaan,
Harus menjadi seseorang yang bisa beradaptasi dalam keadaan sesulit apapun,
Aku akan tetap tersenyum ketika bertemu dengan banyak orang,
Walaupun hatiku sudah kau porak-porandakkan,
Hatiku yang sudah tersusun rapi kau hancurkan,
Hatiku yang sudah aku semai dengan bibit kebahagiaan tiba-tiba kau racuni tanpa segan.


“Apakah salah, jika aku ingin merasakan kebahagiaan dengan cara yang aku inginkan?”,


Sudahlah,
Aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan,
Aku harus menata lagi hati yang kau patahkan,
Menata lagi hati yang sudahkau hancurkan,
Bukankah aku sendiri yang pernah bilang bahwa ini adalah sebuah perjudian,
Bukankah aku sendiri juga yang pernah berucap bahwa ini seperti sebuah pertaruhan,
Aku tidak boleh menyesali segala hal yang pernah aku lakukan.


Paling tidak,
Aku sudah mengungkapkan perasaanku dari hati yang terdalam,
Aku tidak tahu siapa yang akan merugi dalam persitiwa ini,
Diriku yang sudah mencintaimu dengan sangat dalam namun dihempaskan,
Atau dirimu yang dicintai oleh orang yang sudah sangat mencintaimu,
Namun tak kau hiraukan.




“Aku pernah tenggelam hanya untuk orang yang aku idam-idamkan,
Pernah kehilangan nafas karena hatiku yang kau remas dan hempas tanpa berbalas
Terimkasih karena telah memadamkan cinta yang teramat dalam,
Terimakasih telah bersikap buas pada hati yang penuh rasa ikhlas”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh