Langsung ke konten utama

Dua Puluh

Mencoba Untuk Beralih


Kita pernah saling melempar tatap, sebelum akhirnya memilih untuk tidak saling menetap,
Kita pernah berteduh pada satu atap, sebelum akhirnya memilih untuk tidak saling mengingat,
Dan kita pernah duduk berdua di satu tempat, sebelum akhirnya memilih untuk tidak saling melekat.


Aku berdiri di atas kegamangan, menanti setiap waktu yang akan datang memihak, berharap kesunyian lekas pergi,
Hati ini pernah berlari untuk memelukmu, namun ternyata kau pun juga berlari untuk menghindari pelukan,
Raga ini pernah berjuang mati-matian untukmu, sebelum akhirnya mati sungguhan di bunuh olehmu.


Kadang aku ingin kembali pada masa kecil, di mana semua ketidaktahuanku begitu menenangkan, di mana segala keluguanku begitu menyenangkan,
Tanpa harus otakku dipenuhi dengan berjuta pertanyaan yang hampir membuatku gila,
Tampa harus diliputi oleh peerasaan-perasaan bersalah, yang membuatku tak punya gairah.


Aku rindu, rindu ketika setiap permasalahan bisa terselesaikan dengan sepotong permen, atau bahkan hanya dengan sebuah iming-iming berkunjung ke kebun binatang,
Aku hanya rindu, bukan untuk menyesali luka-luka yang belum mengering, bahkan harus menganga lagi,
Seandainya kau ada, aku ingin merebah di pundakmu, merasakan ketenangan yang membuatku sejenak melupakan tentang permasalahan di dunia ini.


Maafkan aku,
Salahku juga yang terlalu berambisi menjadi yang terbaik untukmu, hingga aku lupa, bahwa yang terbaik, belum tentu menyenangkan bagimu,
Sejak kejadian semua mendadak berubah, aku merasakan hal-hal asing, bahkan terhadap diriku sendiri.


Aku harus mengorbankan perasaaan yang sudah aku tanam dalam-dalam untukmu,
Mengubur dalam-dalam perasaan yang setiap hari sudah aku semai dengan pupuk kebahagiaan,
Mematahkan harapan yang sudah aku rangkai sedemikian rupa untukmu,
Bukan aku yang menghancurkan semuanya, tapi jawaban yang kau berikanlah menjadi andil tebesar dalam merubah segalanya.


Aku akan mencoba peruntungan baru,
Mencoba mengadu nasib dengan mencari kebahagiaan pada orang lain,
Mendekati orang baru yang bersedia untuk menemani hari-hariku, aku akan memulai semuanya, seperti aku memulai denganmu,
Mengenal seseorang lebih dalam, mencoba untuk masuk ke dalam hatinya.


Namun aku tidak tahu apakah akan merasakan kenyamanan seperti yang aku rasakan saat bersamamubersamamu,
Aku tidak tahu apakah akan merasakan kehangatan seperti kehangatan yang aku rasakan saat berada di dekatmu,
Aku tidak tahu apakah akan merasakan kesejukan seperti yang aku rasakan saat berada di sampingmu.


Mungkin itu hanya perasaan khawatir atau hanya halusinasi ku saja,
Mungkin juga aku terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang belum waktunya untuk diberi kesimpulan,
Bagaimana aku bisa menyimpulkan sesuatu yang baru saja akan aku coba jalani,
Bagaimana mungkin aku bisa menerka sesuatu yang baru saja hendak aku eja,
semua hal yang baru butuh waktu untuk beradaptasi,
Memang tidak pernah mudah menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan,
Namun aku yakin, ini hanyalah perihal waktu,
cepat atau lambat, semesta akan memperbaiki keadaanku.


Bodoh sekali jika aku harus berlarut dalam kesedihan,
Sementara dirimu disana  mungkin sedang berpegangan tangan dengan orang yang kau sukai,
Mungkin kau sedang asik bercerita via telepon dengan lelaki lain yang kau cintai,
Atau barang kali kau sedang asik berkumpul dengan teman-temanmu, tanpa sedikit pun menghiraukan apa yang telah kau perbuat padaku.


Memang benar kiranya,
Kau tidak pernah memperdulikan tentang apa yang aku rasakan,
Kemungkinan apa saja itu bisa terjadi,
Tapi kita tidak bisa memungkiri sebuah kenyataan bahwa cinta sering kali membuat seseorang menjadi bodoh,
Dan aku telah menjadi salah satu korbannya







“Jangan pernah berfikir kalau kamu tidak layak untuk dicintai,
Hanya karena ia tidak membalas perasaanmu,
Jangan sampai hanya karena ada satu orang yang tidak mencintaimu,
Kamu justru berfikir bahwa dirimu tidak pantas untuk dicintai ”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh