Langsung ke konten utama

Delapan belas

Berkontemplasi


Pagi pernah mengajarkanku,
Bahwa yang terbaik pun bisa saja sekejap hilang,
Seperti mentari pagi di gunung, yang mendadak hilang ditelan kabut,
Siang mengajarkanku tentang kehangatan, yang mendadak hilang di guyur sang hujan,
Sore yang cerah pun pernah mengajarkanku, bahwa langit senja yang berwarna pun bisa mendadak hilang dilahap gelapnya malam.


Begitu pun dengan dirimu,
Ada banyak pelajaran yang bisa aku petik darimu,
Bahwa apa yang kita harapkan tidak selamanya berakhir dengan kenyataan,
Bahwa yang memberi kenyamanan tak selamanya berujung dengan jadian,
Bahwa yang memberi senyuman tak selamanya memberikan kebahagiaan.


Kupikir tidak akan pernah sesakit ini,
Aku berusaha menyimpan segala kenangan tentangmu dalam ampas kopiku,
Lantas kubiarkan ia mengendap,
Tak akan pernah kukecap lagi hingga mengering dan lalu terbuang,
Sementara kau di sana, di tempat yang aku tidak tau dimana,
Kau mungkin masih sibuk dengan segala kesibukanmu.


Aku yakin kau tidak pernah merasa sedikit pun rasa bersalah,
Kau menganggap seakan semua tidak pernah terjadi apa-apa,
Anggap saja aku anak kecil yang baru belajar berjalan kembali,
Walaupun dengan langkah tertatih-tatih,
suatu saat aku akan kembali berjalan normal.



Aku mencoba berfikir dengan adil sejak dalam berfikiran maupun perbuatan,
Aku tidak ingin bersikap egois dengan menyalahkanmu atas segala hal yang aku rasakan,
Perlahan mulai berpikir realistis,
Mungkin bukan aku yang menjadi kriteria lelakimu,
Mungkin bukan aku orang yang tepat untuk menemani hari-harimu,
Mungkin bukan aku orang yang kau harapkan untuk menemani langkah-langkahmu,
Mungkin bukan aku orang yang kau inginkan untuk menjagamu.


Aku mulai belajar untuk menerima kenyataan yang telah terjadi,
Ini sudah menjadi resiko dari perasaan yang terlalu berharap,
Dulu aku selalu membayangkan betapa kebahagiaan akan selalu menghiasi hari-hariku,
ternyata aku salah,
Aku harus menghadapi kenyataan  pahit yang membuat hari-hariku menjadi kelam,
Yang membuat setiap waktuku menjadi tampak suram,
Semua memang harus dan mesti berlalu,
Namun aku seolah-olah takut untuk menatap ke muka,
Sementara masa lampau terasa indahnya.


Ketika bersamamu,
Aku merasa berada di tempat yang ramai,
Walaupun pada kenyataan nya aku berada di tempat yang sangat sepi,
Begitu pun sebaliknya,
Aku merasa sangat sepi, walaupun berada di tengah keramaian jika tidak ada dirimu,
Semua tampak mesra namun kosong,
Jangan pernah bilang aku berlebihan,
Rasa ini hanya aku yang tahu,
Rasa ini hanya aku yang merasakan,
Sakit ini hanya aku yang mengerti.


Aku akan melewati fase sulit ini,
bersiap menghadapi kenyataan dalam setiap hari-hariku berikutnya,
Mencoba menikmatinya dengan cara sebaik-baiknya,
Walaupun dengan kondisi hati yang patah.







“Beberapa hal dalam hidup ini tidak untuk diterimakan,
Melainkan hanya untuk dimengerti, kepergianmu salah satunya,
Karena melepaskan dirimu tidak pernah mudah,
Namun berjuang untukmu yang tidak pernah menganggap ada, itu jauh lebih susah”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh