Langsung ke konten utama

Dua puluh satu

Kau yang belum selesai


Tak ada yang lebih indah dari pada kenangan bukan?
Kenangan menjadi sangat indah untuk saat ini, tatkala kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan keinginan hati,
Aku rindu saat kita berjauhan dan saling menitip rindu,
Namun kau telah pergi, dan rindu ini tidak tahu kemana akan pulang,
Yang bisa aku lakukan hanya bertanya, kapan kau akan kembali?
Atau apakah mungkin kau akan kembali?


Dini hari tadi, saat jutaan pasang mata terpejam,
Aku kembali berbincang dengan alam semesta,
Mungkin akan terdengar sedikit gila, karena aku berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa berbicara,
Tapi kalau seandainya saja kalian tahu, ada banyak hal yang kami obrolkan hingga pagi menejelang,
Membicarakan tentang segala hal di bawah gemintang yang bersinar terang,
Bahkan di tengah perbincangan aku melihat bayangan wajahmu yang membias di antara langit-langit malam,
Apakah kau mendengarkan obrolan kami melalui mimpi?
Atau aku saja yang tidak pernah bisa menghentikan mimpi-mimpi tentangmu?


Detik berlalu, menit berganti, jam berputar, hari berubah dan bulan bertukar, aku di sini masih saja berdiam diri,
Berusaha mencari-cari cara agar bagaimana bisa melupakanmu,
Berupaya mencari seseorang yang tepat, seseorang yang mungkin akan membantuku untuk menghapus segala tentangmu,
Aku mencoba untuk menemukan seseorang yang bukan lagi dirimu.


Pada situasi di mana kita biasanya menghabsikan waktu bersama sepulang kuliah,
Aku selalu menyediakan waktuku untuk sekadar mendengar keluh kesahmu,
Mendengar bagaimana penatmu dalam menjalani kehidupan yang keras ini,
Mendengar segala cerita darimu membuatku menjadi seperti seorang pecandu obat terlarang, tidak ingin berhenti dan selalu saja ingin menikmatinya,
Mendengar ceritamu seperti menikmati dongeng terindah pengantar tidur lelapku, ingin selalu mendapatkannya.


Senang saja rasanya, ketika kau menjadikanku tempat untuk bercerita,
Menjadikanku tempat untuk mengadu,
Menjadi salah satu orang yang bisa membantumu unuk menyelesaikan segala masalah yang membelenggumu,
Menjadi salah satu orang tempat kau berbagi keluh kesah,
Sekarang itu bukan lagi menjadi kebiasaanku,
Sekarang itu bukan lagi menjadi kegiatan yang menemani hari-hariku,
Bukan karena aku berhenti menyukainya,
Tapi karena memang tidak ada lagi kau di setiap hari-hariku .


Selepas peristiwa penolakan kemarin,
Perlahan semua nya berubah secara tertaur,
Kau tidak lagi menjadikanku tempat berbagi cerita,
Kau tidak lagi menjadikanku tempat untuk berkeluh kesah,
Kau tidak lagi menjadikanku tempat untuk merebah,
Kau tidak lagi menjadikanku kompas tatkala kau kehilangan arah,
Kau tidak lagi menjadikanku sebab terciptanya tawa,
Bahkan untuk sekadar melempar senyum pun kita canggung,
Bertegur sapa pun kita susah,
Semua benar-benar berubah.


Kau sudah mempunyai duniamu sekarang,
Kau dengan duniamu yang baru,
Dunia yang membuatmu pergi jauh,
Dunia yang membuat kau tidak lagi menjadikanku tempat untuk ceritamu,
Membuatku merasa hancur tiap kali mengingatnya,
Memaksaku melukis luka tiap kala aku mengenangnya.


Aku terus mencoba berusaha untuk memahami,
Aku terus mencoba berusaha untuk mengerti,
Terus berusaha untuk menerima segala hal yang sudah terjadi,
Tidak apa-apa jika harus begini akhirnya,
Tidak apa-apa adalah kalimat paling apa-apa yang sering kali disembunyikan,
Banyak orang  menutupi segala bingkai kesedihanya dengan kalimat tidak apa-apa,
Hampir sama dengan yang aku alami sekarang.


Aku sudah rela menjadi rumah ketika kau merasa lelah,
Aku sudah bersusah payah menyiapkan segala yang terbaik untuk kau jadikan tempat pulang,
Aku sudah bekerja keras untuk menjadi poros semestamu,
Walapun pada kenyataan nya aku bukanlah tempat yang kau jadikan pilihan atas segala kesiapanku menerimamu.






“Semenjak kepergian dirimu dari hidupku,
 kepandaianku untuk berbohong meningkat tajam,
Sebab,aku seringkali bersikap baik-baik saja,
Padahal jiwaku sedang porak  poranda”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh