Langsung ke konten utama

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi.

Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat.

Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan.

Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini :

“Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa”

Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri.

Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini :

“Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann”

Yang cuma dibalas dengan dua centang biru. Atau lagi :

“Besok kau jadi pulang ke kota ? diantar sama siapa ? hati-hati di jalan ya. Berkabar jika sudah sampai”

Yang kemudian tetap dibalas dengan dua centang biru.

Aku melakukan apapun untukmu, kupikir itu sudah paling baik. Tapi, mungkin dia lebih. Itulah sebabnya kau memilih tinggal pada hati yang lain. Meskipun aku mati-matian merawat hati dan perasaan ini agar terus tumbuh.

Baiklah, kali ini memang harus kuikhlaskan. Mau sekuat apapun berjuang, yang menjadi keinginanmu tidak pernah ada pada diriku.

Dia telah hilang dan mati.

Komentar

  1. Kau tau tidak? Diantara pagi, siang dan malam kabarmu lah yang paling ingin aku ketahui. Karnamu pula aku menjadi seseorang yang amat pilu ketika rindu semakin menggebu. Pada jarak yang tak begitu jauh seharusnya aku bisa memelukmu, tapi nyatanya menatapmu saja aku tak mampu. Aku cemburu pada dia yang abadi dalam tulisanmu, sedangkan aku hanya menjadi yang paling setia membaca tulisanmu. Aku cemburu pada ia yang selalu kau kenang, sedangkan aku menjadi yg paling ingin kau sayang. Lucu bukan, saat kau sibuk mengenang aku pun turut sibuk menjulang doa agar gundah mu segera mereda.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh