Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Bertahun

Bertahun-tahun setelah kau pergi, langkah kaki ini masih belum mengerti cara berjalan untuk menyudahi semua ini. Disini, aku masih berdiri sendiri, masih larut dalam ingatan tentang senyummu, masih terjebak dalam kenangan saat kita berdua belum sejauh ini. Lalu, darimana atau bagaimana caraku untuk menjelaskan semua ini pada diri sendiri. Soal-soal apa yang membuatku jatuh sedalam ini, soal kapan aku harus berhenti dan melangkah lagi. Aku kehilangan kalimat untuk mengartikan kerumitan yang kurasa sendiri. Aku selalu membiarkan kedua tanganku terbuka untuk kau butuhkan ketika kehilangan arah. Aku masih melangitkan doa-doa yang kupercaya bisa menjagamu ketika aku tidak ada disampingmu. Aku selalu melakukannya tanpa pamrih, tanpa kau minta, bahkan tanpa kau peduli. Tapi, melihatmu saat ini sudah bergenggaman tangan bersama yang lain, aku ingin mulai beranjak dari ketidakberdayaan ini. Semerekah itu senyummanmu saat bersamanya, selepas itu tawamu saat mendengar kata-kata lucu yang ia cura

Berkabung

Merintihlah jika kau ingin merintih. Lepaskan rasa sakit di dadamu yang mulai lirih. Akui saja kalau hatimu punya sisi yang sangat rentan, yang perlahan akan runtuh meski kau jaga mati-matian. Berkabunglah kalau kau harus berkabung, tulis apa saja yang membuat lukamu terasa semakin menggunung. Yakinlah, berkabung tidak akan membuat kau kehilangan harga diri, karena sejatinya kau hanya membenarkan bahwa rasa yang pernah hidup akan mati, lalu pergi.  Berteriaklah ketika kau rasa patut untuk berteriak, luapkan segala emosi yang sudah waktunya untuk meledak. Hempaskan segala kekesalan itu sebelum semuanya semakin rumpang.  Terimalah beberapa rasa perih  atas harapan-harapanmu yang telah lirih. Menangislah jika memang waktu nya untuk menangis. Terima kekalahan-kekalahan yang yang telah membuat batinmu kualahan. Jatuhkan semua air matamu hingga tak tersisa, kau pun tau bahwa dari berbagai macam masalah ada hal yang membuatmu putus asa. Tak perlu takut untuk dilihat lemah, bilang saja kalau k

Seharusnya

Ketidaksengajaan ini hadir dari perbincangan-perbincangan kita yang mengikat. Menembus tengah malam tidak boleh istirahat. Lihat saja riwayat pesan kita, berpencar tidak tahu tempat. Dan pada titik itu, aku merasa semua tidak lagi sama. Ia menjadi permulaan yang nantinya mau tidak mau harus menemui ujung. Aku tidak pernah ingin kepala ini dihiasi oleh pertanyaan macam-macam, tapi, tiap malam setelah hari itu, pertanyaan tentang  sampai mana kita akan berjalan? sampai kapan malam-malam kita dihiasi oleh obrolan-obrolan? Sampai kapan  acara senyum-senyum sendiri menjadi luka yang menyiksa diri ? Kau ingat? Di tengah malam menjelang tidurmu ? kau bertanya, akan menjadi apa kita nanti ? kalau saja malam itu bisa kutembus dengan pertemuan, akan aku jelaskan hingga kau tak punya lagi pertanyaan tentang perasaan. Lihat, sekarang kau memudar oleh senyawa yang disebut waktu, kita berakhir dengan tanda tanya yang tak pernah ada jawaban. Lihat, sekarang mimpiku lenyap seperti cuma terbangun dari

Pamit

 Sebenarnya bukan ingin menghilangkan, tapi biarkan saja rasa ini gugur dengan diri sendiri nya. Aku tahu kalau pilihanku saat ini salah, tapi berjuang dengan ketidakpastian dan jauh dari harapan juga percuma. Manusia mana yang tahan terus-terusan dijadikan opsi dari banyaknya pilihan? Selama berbulan-bulan dengan  situasi yang berbeda-beda? Hati ini sudah lelah sekali. Tanganku bergerak berupaya mencari jalan keluar, tapi sikap dan perhatianmu menghalangiku untuk pergi kemana-mana. Aku yang terlalu bodoh dalam menyikapi rasa? Atau kau yang mampu membawaku pada suasana? Sampai kapan aku akan terus bertahan dengan rasa sakit yang riuh redam? Aku lelah, bukan lelah untuk berbuat baik. Melainkan lelah menunggu jawaban atas tanda tanya yang kian hari tampak kian panjang. Entah berapa banyak aamiin-aamiin yang aku upayakan di waktu-waktu sepertiga malam.  Aku lambat mengerti bahwa yang aku impikan takkan selalu jadi kenyataan, salah satunya adalah memilikimu. Aku jadi teringat sebuah kalima

Merengkuh luka

Ada satu hal yang seringkali menjadi alasanmu untuk tetap bertahan. Adalah penasaran. Keingintahuanmu tentang ujung dari banyak perjalanan yang tampak tidak tahu arah. Barangkali rasa percaya dirimu terlalu tinggi, Berharap dia akan sedikit berubah melalui tingkah dan sikap baik yang kau persembahkan. Doa-doa yang kau panjatkan di sepertiga malam yang kelam, terarah pada seseorang yang ternyata kelak akan meninggalkanmu pelan-pelan. Kau terlalu yakin kalau batu yang keras akan runtuh jika terus-terusan digerus air, namun sampai kapan air matamu akan jatuh untuk mewujudkan itu semua ? sampai matamu lebam ? Hanya karena terlalu fokus kepada batu, kau lupa di sekitarmu ada banyak tanaman yang lebih siap menerimamu. Kau memang kuat atau hanya pura-pura kuat ketika luka, harusnya satu dua kali luka sudah cukup untuk kau berhenti dan tidak lagi memaksa. Kau menjadi buta, padahal yang ia beri hanya sebatas kata-kata, tak ada perasaan di dalamnya, melainkan penolakan-penolakan yang memenuhi d

Rainjani

(Duka, setelah musim semi).  Mudah sekali membuat dua orang  berjanji, tapi ternyata yang lebih muda itu adalah “Mengingkari”. Perjalanan panjang sudah kita tempuh, siang dan malam, dingin dan panas, cerah dan hujan.  Aku fikir itu akan cukup untuk kita jadikan pelajaran dan bekal sebagai sebuah rencana hidup ke depan, tapi aku lupa menyajikan satu hal, yaitu ketidakpastian.  Kau rupanya lebih senang mengenggam mawar yang tumbuh diantara semak belukar, daripada kaktus yang tumbuh gersang di padang pasir. Bukankah yang terlihat itu lebih menjanjikan ketimbang sesuatu yang tidak terlihat ? tapi rupanya kau berbeda. Kutampilkan segala hal yang ada pada diriku, mulai dari kelebihan hingga kekurangan, tak satupun hal yang aku coba untuk sembunyikan. Karena bagiku sendiri hidup adalah soal penerimaan. Tapi ternyata tidak cukup untuk seorang penjelajah seperti kau. Kau hampiri banyak hati untuk memastikan bahwa (aku) layak untuk diganti.  Kau ingat ? saat kita saling mengenggam tangan di anta

Cinta Pertama Gunung Kaba

 Gunung Kaba.  Akan selalu menjadi Cinta pertama saya.  Teringat betul, Penghujung Oktober tahun 2013, ditengah hegemoni peringatan sumpah pemuda, berbarengan dengan booming nya film 5 cm. Keinginan untuk mendaki Gunung membuncah di dalam dada. Membayangkan, mendaki bersama sahabat-sahabat terbaik dan berdiri di atas Gunung sana, gagah sekali pastinya. Waktu berjalan dengan berbagai persiapan yang ala kadar, langkah diayunkan menuju tempat yang teramat diidamkan. Berbekal tumpangan mobil bak terbuka, saya dan beberapa kawan yang mengagumkan berangkat dengan penuh semangat. Panas terik tak menjadi masalah, yang terpenting kami harus segera tiba.  Pendakian dimulai jam setengah enam sore, cuaca cerah sekali. Setelah selesai membereskan persyaratan simaksi yang kala itu hanya Rp. 2.500. Saya dan kawan-kawan menyusuri lebatnya hutan Gunung Kaba, berbekal hp nokia, salah seorang kawan menghidupkan lagu Rahasia Hati milik Nidji, dan Di atas awan yang dinyanyikan oleh band yang sama. Malam me

Memaknai Rinjani #3

 ‘’TOREAN YANG INDAH DAN MISTIS” Saya dan Deno memutuskan untuk turun berdua, sementara Nova, Weni dan Ursi menginap satu malam lagi di danau (Mengingat kondisi mereka yang masih kelelahan). Karena berbagai macam pertimbangan, jadilah kami turun melewati jalur Torean (Jalur yang belum diresmikan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani). Hal ini kami lakukan atas pertimbangan waktu, mengingat jika harus naik ke Plawangan kembali, kami butuh waktu 6-8 jam, sementara dari Plawangan menuju pemukiman warga juga membutuhkan waktu 8-10 jam, tentu ini akan memaksa kami bermalam satu malam lagi, sedangkan persediaan logistik sudah habis. Berdasarkan info yang kami peroleh, untuk jalur torean sendiri bisa ditempuh dengan waktu yang lebih cepat, yakni 6-9 jam saja.  Langkah kami percepat, karena tampaknya kami berdua adalah orang terakhir yang turun, sedangkan untuk jalur sendiri kami masih sama-sama buta. Ada perasaan takut, khawatir dan cemas menyelimuti jiwa, tapi kami mencoba untuk tetap waras, ka

Memaknai Rinjani #2

Hampir dua jam berjalan kami tiba di Pos satu, tidak lama istirahat kami langsung tancap gas menuju Pos dua, pemandangan sepanjang jalur pendakian indah sekali, juga tampak jelas terlihat beberapa jalur pendakian yang longsor akibat gempa dua tahun yang lalu. Setiba nya di pos dua kami istirahat dan foto-foto, selain keindahan nya, Rinjani juga terkenal dengan Porter-porter nya yang luarbiasa, bayangkan saja, dua pikulan berisi penuh mereka pikul dengan gagah, walaupun hanya beralas jepit, langkah mereka tidak goyah. Berjalan cukup cepat, kami tiba juga di Pos tiga, disini rencananya kami akan makan siang dan beribadah. Saat tengah duduk santai dan menikmati makan siang, kami didatangi kera, banyak sekali jumlahnya, ternyata tujuan mereka datang adalah untuk meminta belas kasihan dari para pendaki agar diberi makanan, kata seorang kawan, hal ini terjadi karena banyak pengunjung yang memberi makan kera, sehingga mereka terbiasa meminta makan dan cenderung pemalas, menyedihkan. Perut sud

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh