Langsung ke konten utama

Memaknai Rinjani #1

"AWAL”


Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca.


Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani !


Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang menghadang, dari cuaca yang tidak stabil, sampai urusan kesehatan menjadi hambatan. Namun karena semangat yang begitu besar, semua berhasil dikalahkan. 


Jum”at, 18 Desember 2020. Paginya saya ke sekolah untuk menuntaskan kewajiban membagikan Rapot ke anak didik, setelah nya langsung bergegas menuju loket bus, menunggu agak lama, bus yang hendak kami tumpangi pun tiba, Putra Raflesia. Tujuan kami adalah Jakarta, dalam perjalanan ini saya ditemani oleh seorang sahabat yang mengagumkan, Deno Marliansyah. Satu dua kota terlewati, siang berganti malam, dan tepat jam 5 subuh kami tiba di pelabuhan Bakauheni, bersiap menyebrang menuju Merak. Waktu sedikit menjadi molor karena kapal harus mengantre untuk bersandar, di jalanan tak jauh berbeda, macet panjang sekali, musabab saat itu adalah akhir pekan.  Dua puluh sembilan jam adalah waktu yang harus kami tempuh untuk sampai ke Jakarta. Disana saya dijemput oleh seorang sahabat lama yang turut serta dalam pendakian Semeru tahun lalu, Rima Yuliani. Sementara Deno menginap di rumah kerabatnya. Malamnya saya mengobrol banyak dengan Rima soal pendakian sembari nostalgia , beliau ingin sekali ikut serta dalam pendakian, namun karena suatu dan lain hal, urung untuk bergabung.


“MENGUDARA”

Pagi sekali saya bertemu kembali dengan Deno, kami naik Bus Damri untuk menuju Bandara Soekarno Hatta. Setibanya langsung menuju tempat Rapi tes antigen. Karena sudah menjadi syarat penerbangan, mau tidak mau kami harus melakukan ritua itu. Dua ratus ribu adalah biaya yang mesti kami rogoh dari dalam kantong. Hidung saya dicolok-colok, tak lama hasilnya keluar. Alhamdulillah, Negatif. Padahal saya takut sekali kalau hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan. Jam 1 pesawat kami mengudara, cuaca cerah walau agak berawan, setelah dua jam mengudara, pesawat yang kami tumpangi landing di Bandara Lombok, disana saya bertemu dengan kawan-kawan yang akan mendaki bersama, Ursi Muharsi, seorang kawan yang saya kenal sejak 2016 yang lalu, Ada Nova dan Weni, dua gadis asal Sumatera Selatan yang baru saya kenali di bandara. Kemudian ada Fiina, teman sewaktu kuliah, ia bersama sang adik Ridwan. Tanpa sempat menikmati suasana bandara, kami langsung menuju mobil travel yang sudah disewa. Kami akan dibawa menuju desa Sembalun, Lombok timur. Sepanjang perjalanan kami disuguhi berbagai macam penampakkan, wabil khusus tentang budaya suku sasak yang kaya. Diantara nya adalah nyangkolan, semacam arakan pengantin yang diiringi dengan tabuhan gendang, mereka akan berjalan kaki sampai tiga kilometer jauhnya, luarbiasa.


Malam mulai datang, selepas azan isya berkumandang, kami tiba juga di sembalun dan langsung bergegas mencari penginapan. Setelah lama mencari, akhirnya kami menginap di Basecamp Pak Tika, seorang pria berusia lima puluh tahun lebih yang kelak akan menjadi Bapak kami. Disana saya bertemu dengan Andri dan Rifki (Duo Jakarta yang luarbiasa) serta Devika, gadis unik (menurut saya) asal Makassar. Mereka, tiga orang kawan baru yang saya kenal dari Instagram, seperti prediksi saya sebelumnya, mereka menyenangkan.


Setelah bersih-bersih badan dan melaporkan keadaan ke orang tua, kami semua tertidur. Pagi nya Rinjani yang gagah terlihat dari kejauhan, di belakang penginapan pemandangan tak mau kalah, Bukit Pengasingan memancarkan auranya. Selepas foto-foto kami memesan pisang goreng sembari ngopi. Andri dan Rifki sudah mendaki duluan, sementara Vika akan berangkat besok bersama kami. Perbincangan yang hadir menarik sekali, kami cerita banyak tentang budaya dan bahasa masih-masing daerah, mulai dari soal uang panai hingga bahasa serawai yang menyenangkan.  Siangnya kami menuju klinik untuk memeriksa kesehatan, karena Balai Taman Nasional Gunung Rinjani mewajibkan surat keterangan sehat dan surat rapid tes sebagai salah satu syarat pendakian. Sesudahnya makan di warung Bu Via, yang kelak menjadi tempat makan langganan kami. Makanan yang disediakan enak-enak sekali, tapi yang menarik, harga yang harus kita bayar tergantung dengan mood penjual (Contohnya ; Saya dan Deno makan dengan porsi dan lauk yang sama, tapi harga yang beliau dapatkan jauh lebih murah dari saya hehe).


Sore nya belanja logistik dan mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan, dari air mineral hingga nugget ikan cap kaki naga. Malamnya kami briefing tentang pendakian, membagi tugas, hingga akhirnya waktu membawa kami tertidur pulas.


“MELANGKAH”


Pagi sekali kami sudah siap, mobil bak terbuka datang menjemput kami. Setelahnya sarapan dan mengurus registrasi. Jam delapan pagi semua selesai, mobil yang kami tumpangi melibas jalan aspal hingga jalan rusak, yang tentunya tidak lebih rusak dari hatimu. Doa dipanjatkan, kaki mulai dilangkahkan, kami mulai menyusuri jalanan panjang, dari masuk hutan hingga bertemu sabana luas membentang. Devika, ia berangkat lebih awal menggunakan jasa ojek yang akan mengantarkannya langsung menuju pos dua. Sementara kami bertujuh berjalan, sebelum akhirnya tergoda juga untuk menitipkan tas keril ke tukang ojek, musabab beberapa teman wanita kami tampak kelelahan. Saya dan Deno berada paling belakang, kami masih tidak menyangka akan menginjakkan kaki sejauh ini, maklum saja, dari Bengkulu menuju Lombok kita harus melewati tiga selat untuk sampai.


Bersambung.......

Komentar

  1. Memabaca cerita bapak,saya pribadi rasanya ingin menginjakkan kaki di gunung rinjani semoga bisa mengikuti jejek bapak:)

    BalasHapus
  2. Memabaca cerita bapak,saya pribadi rasanya ingin menginjakkan kaki di gunung rinjani semoga bisa mengikuti jejek bapak:)

    BalasHapus
  3. Perjalanan untuk memuaskan hasrat yang dahaga akan pengalaman. Rinjani always be the best choice to climb. Muantep!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka