Langsung ke konten utama

Dua Puluh Tujuh

Aku, yang kembali Bertahan


Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya,
Aku ingin minum secangkir kopi, dan tenggelam dalam lamunan,
Meresapi alunan musik yang menguasai,
Kulihat kau berada balik awan, hingga aku tersadar bahwa itu hanyalah bayanganmu,
Segitu dalam kah rasa rinduku padamu?
Hingga segala pikiran tentangmu masih saja menguasai,
Segera ku hirup kopi yang tergeletak di atas meja,
Menikmati setiap rasa yang ada di dalamnya.


Harusnya aku pergi, bukan malah memaafkanmu lagi,
Harusnya aku tinggalkanmu sendiri disini, bukan justru malah kembali untuk peduli,
Haruskah aku berada dalam kondisi seperti ini selamanya? Bersikap baik dengan orang yang telah membuat hatiku cabik?
Bersikap peduli dengan seseorang yang hampir saja membuatku mati?


Namun waktu tidak mampu menyusutkan rasaku, ia masih tersedia untukmu,
Salah seorang teman pernah berkata, bahwa menunggu seseorang yang telah menyakiti kita bukan berarti bodoh,
Itu hanya soal teguh pendirian, karena sekuat apapun kita berusaha untuk melupakan orang yang kita sayangi, itu hanya akan membuat hari-hari kita terasa sakit.


Biarlah aku kembali mengambil segala resiko yang mesti aku hadapi ke depan,
Karena aku  percaya bahwa sekeras-kerasnya hati perempuan, suatu saat nanti akan luluh jika aku tetap terus berusaha,
Percuma aku berlalu-lalang mencari cinta yang lain, kalau pada kenyatannya hatiku sudah tertambat padamu,
Sudah berapa lama aku berjuang untuk mecari  penggantimu, kalau pada realitanya tidak pernah bisa menggantikanmu.


Periode patah hatimu kali ini,
Akan aku pergunakan dengan sebaik-baiknya, untuk menjadi kesempatan awal mendekatimu lagi,
Aku akan tetap sama seperti  awal kau kenal, tidak akan ada sedikit pun yang akan berubah dariku,
Kalau pun ada yang berubah, itu pasti untuk kebaikanmu,
Aku selalu mengatakan bahwa hal utama dari segala perhatian yang aku berikan adalah untuk membuatmu bahagia,
Walaupun tidak bisa kupungkiri, terkadang hatiku bertindak munafik, ia merasa kecewa saat bahagiamu bukan tercipta karenaku.


Aku tidak pernah mengerti dengan persaan yang aku miliki ini,
Meski kau pernah dengan sadisnya meninggalkanku, aku masih saja rela menghabiskan segala waktuku untuk kebahagiaanmu,
Mendengar segala keluh kesahmu, tanpa pernah kau tanyakan bagaimana perasaanku,
Dan aku bersedia menjadi tempat penghilang rasa sakitmu,
Rasa sakit yang kau dapati dari lelaki pilihanmu,
Aku tidak tahu apakah aku bodoh atau memang terlalu baik,
Aku masih berkenan untuk menjadi seseorang yang mengajarimu cara tertawa, cara menghapus luka.


Entahlah perasaan untukmu terlalu kuat untuk dikalahkan oleh rasa sakit,
Sampai kapan aku akan begini?
Sampai kau menemui orang baru kemudian mencampakanku lagi?
Aku rasa tidak banyak lelaki yang mau menjadi sepertiku,
Menggadaikan akal sehat demi mendengar kata hati,
Kalau seandainya bisa melawan, aku juga ingin menjadi seperti orang lain, menolak dinomor duakan.


Kalau saja kau tahu, aku ingin menjadi orang yang paling kau rindukan,
Menjadi orang yang paling kau cari ketika merasa kesusahan,
Menjadi orang yang juga kau cintai, kau impikan,
Aku ingin menjadi orang yang ketika aku marah, kau datang untuk meredakan amarahku, namun kau tidak pernah tahu segala keinginanku,
Jangan pernah ragukan kesetiaanku atasmu,
Aku tidak akan pernah pergi dan membiarkanmu terpuruk sendiri,
Aku akan tetap berada di sampingmu, bahkan saat seisi dunia membencimu,
Aku akan memelukmu, menjadi pundak ternyaman atas segala lelahmu,
Dan menjadi pendengar terbaik untuk segala keluh kesahmu.






“Bagaimana bisa aku melangkah sedang segala tentangmu masih saja mengudara di pikiran,
Dan bagaimana bisa aku berlari tanpa mengingat dirimu,
Sedang semua yang kau lakukan sudah berhasil menjeratku agar selalu bertahan untuk selamanya”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh