Langsung ke konten utama

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian.

Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati. 


Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan kau ulangi pada orang lain. Dengan segala kepolosan aku percaya, meski akhirnya semua tidak berjalan sesuai dengan rencana


Mungkin, memang selamanya kita hanya sebatas cerita yang layak untuk dibukukan, bukan untuk dipersatukan. Mungkin, selamanya kita hanya menjadi pelajaran-pelajaran untuk orang lain agar tidak diulang. Kau, pergi. Tepat ketika langit senja sedang merah-merahnya. Ternyata ada seseorang yang sudah menunggumu disana.


Kufikir, aku sudah menjadi yang paling pertama, ternyata menjadi juara kedua pun tidak. Ternyata pahlawan di matamu hanyalah dia, yang kau bilang menyelamatkanmu secara tidak sengaja. Haruskah aku merasuki tubuhnya agar bisa kau sayang ? haruskah aku menjadi ia agar bisa kau kenang ?


Akhirnya, semua memang berbeda. Duniaku dan duniamu. Impian ku dan impian mu, sejatinya kita tidak pernah berada di satu mimpi yang sama.

Pada segala kalimat yang aku curahkan, ternyata aku tidak pernah bisa kalah dalam mengejarmu, meski berkali-kali dijatuhkan.


-SabarHati 

Komentar

  1. Dulu, malam selalu jadi waktu favorit ku, bahkan saat matahari baru saja menampakkan cahaya dibumi aku sudah merindukan gelapnya malam karna suaramu, namun sekarang Setelah malam-malam itu berlalu, tepat setelah kepergianmu malampun menjadi semakin sendu untukku. Aku mengutuk gelap agar segera berlalu, agar dingin dan sepinya tak mengundang kau hadir dalam benakku.
    Semenjak kepergianmu siang ku sibuk bersandiwara, tertawa dan berkenala hanya untuk merasa hidup. Mencoba untuk terus merasa utuh padahal diriku tinggal separuh.

    BalasHapus
  2. Suatu hari nanti Kaupun akan bahagia sama seperti dia bahkan lebih. Tak perlu memaksa diri untuk lupa, tak perlu juga memaksa diri terlihat bahagia. Jika kau menikmati semua luka akan kan dapati betapa beharganya rasa bahagia. Jika sudah datang masanya, kaupun akan merdeka. Semuanya hanyalah sementara duka, suka, dan luka semua hanya sementara…

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh