Langsung ke konten utama

Empat Puluh Tujuh

Aku yang memilih pergi


Ada yang mati-matian merawat perasaanya agar tetap tumbuh, padahal hari-hari ia diabaikan, ada yang terus menerus mengejar untk mendapatkan, padahal ia sadar bahwa pintu hati untuknya tidak pernah terbuka lebar, aku hanya meyakini bahwa dari setiap kegagalan, akan tersimpan sebuah keberuntungan, namun sudah dua kali aku temui kegagalan, haruskah aku mencoba sekali lagi untuk mendapatkan sebuah keberuntungan?


Beberapa orang benci ketika dihadapkan dengan perpisahan, benci karena harus terisolasi oleh waktu, benci karena harus berdamai dengan masa lalu, benci ketika hujan turun, yang membuat suasana menjadi sendu, tapi bukankah perpisahan membuat kita belajar untuk lebih baik kedepannya, belajar dari cinta yang salah, belajar dari luka yang menumpahkan air mata, hingaa menjadi seorang pribadi yang jauh lebih dewasa.
Pada akhirnya aku memilih mundur secara perlahan dalam perjuangan ini, dengan berat hati aku membiarkan segala harapan untukmu mati, dengan keterpaksaan, aku relakan rasa yang sudah aku tanam terbenam dalam, jangan pernah berpikiran jika aku tidak ingin memperjuangkanmu, aku sangat ingin sekali memperjuangkanmu lagi, namun keadaan telah memaksaku untuk mundur secara teratur.


Aku bukan tidak menyanyangimu, aku sangat menyanyangimu, bahkan lebih dari yang kau tahu, aku pikir kau akan ada dalam hari-hariku sampai tua nanti, namun segala keteraturan tentangmu di pikiranku perlahan mati, aku kira kau dan aku akan mampu melewati segala macam cobaan yang menghampiri, namun kita tidak cukup untuk mengahadapi berbagai macam cobaan yang datang melanda, aku selalu membayangkan betapa indahnya menghabiskan masa tua bersamamu, namun kau lebih dulu pergi sebelum semua terlaksana.
Seiring berjalannya waktu ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita paksakan, sekuat apapun kita perjuangkan, jika memang sudah di takdirkan, tidak akan pernah bisa kita lawan, aku menyadari bahwa tidak semua rencana dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, dan pada akhirnya nanti, kita sama-sama menyadari bahwa kita berjumpa hanya untuk terpisahkan, kita bersua hanya untuk dijauhkan, dan kita bertemu hanya untuk saling mengenang di masa depan.


Darimu aku belajar bagaiamana rasanya mencintai tanpa pernah memiliki, mencintai tanpa dicintai, mencintai tanpa pernah menerima balasan yang diharapkan, tapi tidak berhenti mendoakan kebahagiaanmu, darimu aku belajar bagaimana rasanya mengikhlaskan kepergian orang yang teramat kita sukai, tanpa menyimpan sedikit pun dendam dan rasa benci, darimu aku menyadari bahwa segala yang pernah kita lewati, membuatku merasa lebih berarti, dan mengerti tentang arti hidup ini.
Setelah sekian lama bertahan pada seseorang yang salah, aku kembali berjalan, mencari tujuan yang telah di takdirkan, setelah sekian lama berjuang sia-sia, aku kembali berjuang, mencari sesuatu yang lebih bermakna.


Terima kasih sudah pernah ada, saat semua orang tidak ada yang memperdulikan keadaanku, terima kasih sudah pernah membuat hari-hariku penuh tawa dan bahagia, saat semua orang dengan mata terbuka membuatku terluka, terimakasih untuk segala hal yang sudah tercipta




"Kau seumpama pelangi setelah hujan, 
Begitu menenangkan,
Namun pada akhirnya pergi, 
Meninggalkan kesedihan "

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh