Langsung ke konten utama

Tiga Puluh Empat

Sebuah pengantar


Semenjak kepergianmu kala itu,
Aku tahu semesta akan membawa kau kembali,
Aku yakin karena merasakan suatu hal yang beda darimu.
Kau tidak sama dengan wanita lain ,seperti yang sebelumnya aku kenali,
Kau senantiasa menarikku, dengan harapan-harapan yang selalu aku percaya menjadi penghantarku ke hadapanmu,
Walaupun sempat kau permainkan dengan teganya,
Itu tidak mampu membuatku berhenti begitu saja.


Aku sangat memahami bahwa segala hal yang aku jalani tidak akan pernah mudah,
Namun tidak pernah membuatku menyerah begitu saja,
Aku senantiasa berusaha dan menyerahkan semuanya pada waktu,
Entah ia akan menjadikan kau sebagai masa depanku,
Atau hanya menjadikan kau bagian dari masa lalu.


Mungkin hanya bintang yang tahu kemana kita akan melangkahkan semua ini,
Jangan tanya hujan yang tidak tahu kemana arahnya,
Mungkin hanya bulan yang tahu akan berakhir dimana segala perjuangan ini,
Jangan tanya pelangi yang tidak tahu apa-apa tentang hal ini,
Aku terjebak dalam sebuah rasa, memandangmu dalam khayalku,
Seumpama petikan gitar yang syahdu, membuatku terbuai dalam asa,
Hatiku masih setia di sini untukmu, semoga kau menyadari akan hal itu.


Nanti, bila semesta tidak ingin kita bersama,
Tidak merestui hubungan yang sudah aku jadikan tajuk utama dala doa,
Akan aku nikmati segala lara, sembari mengingat segala kisah lama kita,
Aku rangkai kata demi kata yang berasal dari benakku,
Sambil mendengarkan sebuah lagu, aku tulis sebuah puisi yang menggambarkan keindahanmu,
Dengan khayalan menari-nari, aku bayangkan kau ada dihadapanku saat ini,
Mendengarkanku membaca setiap puisi yang aku tulis,
Melihat gambar wajahmu yang coba aku lukis, semoga kau semakin mengerti tentang segala rasa yang aku miliki.


Kucoba untuk merangkai kembali surat kedua ini dengan penuh kata-kata cinta,
Walaupun aku bukan seorang pujangga yang bisa tuliskan segala kata-kata indah.


Semoga kau menyukainya.





“Ada yang lebih menyakitkan,
Daripada kehilangan seseorang,
Yaitu menunggu seseorang kembali,
Dan aku sudah berhasil melalui”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh