Langsung ke konten utama

Memaknai Rinjani #2

Hampir dua jam berjalan kami tiba di Pos satu, tidak lama istirahat kami langsung tancap gas menuju Pos dua, pemandangan sepanjang jalur pendakian indah sekali, juga tampak jelas terlihat beberapa jalur pendakian yang longsor akibat gempa dua tahun yang lalu. Setiba nya di pos dua kami istirahat dan foto-foto, selain keindahan nya, Rinjani juga terkenal dengan Porter-porter nya yang luarbiasa, bayangkan saja, dua pikulan berisi penuh mereka pikul dengan gagah, walaupun hanya beralas jepit, langkah mereka tidak goyah.


Berjalan cukup cepat, kami tiba juga di Pos tiga, disini rencananya kami akan makan siang dan beribadah. Saat tengah duduk santai dan menikmati makan siang, kami didatangi kera, banyak sekali jumlahnya, ternyata tujuan mereka datang adalah untuk meminta belas kasihan dari para pendaki agar diberi makanan, kata seorang kawan, hal ini terjadi karena banyak pengunjung yang memberi makan kera, sehingga mereka terbiasa meminta makan dan cenderung pemalas, menyedihkan.


Perut sudah terisi, kabut tipis mulai menghiasi langit, sementara jalur yang harus kami hadapi semakin tinggi. Ya, tujuh buah Bukit harus kami lewati, orang-orang sering menyebutnya dengan nama Bukit penyesalan, musabab setiap kali orang yang lewat bukit ini merasa menyesal karena telah mendaki Rinjani, untungnya saya tidak ikut-ikutan. Kami tiba di Pos 4 tepat pada jam empat sore, cuaca gerimis, setelahnya berkabut kembali. Medan yang dihadapi semakin berat, sehingga beberapa diantara kami terpisah satu sama lain. Di tengah jalan, Weni sudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, tapi berkat semangat dari teman-teman, ia mau tetap berjalan, walaupun konsekuensi nya si Ursi harus membawakan Tas Carier milik Weni, istilah keren nya double deck. Matahari mulai pulang ke peraduan, hari menjadi gelap tanda malam akan segera datang, sementara tempat yang kami tuju belum tampak oleh penglihatan. Setelah berjalan dan terus berjalan, saya dan Deno tiba lebih dulu di Plawangan (tempat terakhir mendirikan tenda sebelum menuju puncak Rinjani) pada jam 7 malam. Tapi saya turun kembali untuk membantu Ursi membawa tas Weni, ia terlihat kelelahan sekali. Setengah jam berselang saya, Ursi dan Weni tiba di Plawangan, tapi ternyata Fina dan Ridwan masih belum kelihatan. Jadilah saya turun kembali untuk membantu mereka, rupanya Ridwan mengalami keram pada kakinya, sehingga agak susah berjalan.


Akhirnya setelah berbagai macam rintangan, Saya, Fina dan Ridwan tiba di Plawangan tepat pada jam 9 malam. Tenda sudah berdiri, kami langsung bergegas untuk mengganti baju yang basah oleh keringat dan air hujan, sementara Nova dan Deno sedang memasak untuk makan malam. Menu malam ini adalah nugget dan mie kuah, nikmat sekali. Apalagi kami menikmatinya di bawah sinar bulan dan hamparan bintang yang memenuhi seisi langit, dihadapan kami danau Sagara anak terlihat samar. Setelahnya mengobrol sedikit sebelum akhirnya terlelap.


“PUNCAK DEWI ANJANI”

Jam dua pagi saya dibangunkan Nova, karena memang rencana kami akan Summit ke puncak, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, kami semua mengurungkan niat, dan menggantinya pada esok hari. Paginya matahari bersinar dengan terang, puncak Rinjani yang gagah terlihat dari kejauhan, segelas coklat hangat sudah dihidangkan. Siangnya saya mengobrol dengan orang di tenda sebelah, beliau adalah Mas Ikip, yang ternyata seorang Guru juga. Beliau mendaki bersama Istri dan beberapa teman nya, luarbiasa. Dalam hati saya berharap suatu saat juga bisa mengajak pasangan halal saya untuk mendaki Gunung, Aamiin.


Selepasa Magrib kami semua bersepakat untuk tidur, karena jam 12 nanti kami harus bangun untuk bersiap menuju puncak. Nova lagi-lagi menginisiasi kawan-kawan, menu yang kami santap malam itu adalah mie, tempe dan soup hasil pemberian tenda sebelah. Selepasnya kami mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, dari air minum hingga jas hujan adalah barang pribadi yang wajib kami bawa menuju puncak, jam setengah dua malam kami mulai melangkah, mau tidak mau kami harus berteman dengan rasa dingin dan kantuk, bermodal cahaya seadanya hasil dari headlamp yang kami kenakan, semuanya dipertaruhkan. Jalur tanah berganti menjadi pasir, membuat langkah ini susah sekali untuk digerakkan. Dua kali melangkah naik, satu kali melangkah turun. Satu jam berjalan kami terpisah, saya berada paling depan bersama Nova, setelahnya diikuti oleh Weni dan Deno, sementara Fina, Ridwan, Vika dan Ursi berada di belakang.


Angin bertiup kencang, nyali Nova agak menciut, saya pun sama, tapi kami coba untuk tetap saling menguatkan. Tiga jam berjalan kami tiba di Letter E, jalur yang paling sulit sebelum mencapai puncak, tapi tidak ada terbesit rasa menyerah, justru perasaan ini semakin semangat untuk segera tiba di puncak. Akhirnyaa setelah kurang lebih 5 jam berjalan, kami tiba juga di Puncak Rinjani, tepat saat sang empunya cahaya sedang merah-merahnya.


Alhamdulillah, kata pertama yang saya ucapkan. Saya sangat merasa kecil di alam ciptaanya yang megah ini, saya seperti butir debu yang bisa saja hilang tersapu angin badai, perasaan seperti inilah yang semakin mendekatkan saya kepada sang pencipta. Langsung saja tubuh ini saya rubuhkan, bersujud syukur kepada sang pencipta atas segala hal yang diberikan. Satu persatu dari rombongan kami tiba di puncak, pelukkan dan tangis haru tak terelakkan, kami bersyukur bisa sampai di Puncak Rinjani yang teramat sulit untuk didefinisikan keindahan nya.


Perjalanan turun tidak seburu-buru saat muncak, kami lebih santai berjalan, bahkan banyak berhenti lama untuk menikmati keindahan danau Sagara Anak di sepanjang jalur turun. Sungguh disayangkan jika tidak diabadikan oleh mata dan bidikan kamera. Seolah belum puas dan tidak ingin pulang. Akhirnya setelah berfoto-foto, kami tiba kembali di plawangan jam 12 siang. Rencananya kami akan turun ke Danau Sagara anak. Weni, Nova dan Ursi berjalan duluan menuju danau, sementara saya dan Deno membereskan perbekalan dan peralatan. Setelahnya kami menyusul turun, sementara Vika menunggu Fiina dan Ridwan sebelum nantinya akan ikut turun.


Jalanan yang harus dilewati menuju danau sagara anak benar-benar menyiksa, bahkan saya rasa ini adalah yang paling terjal dari jalur pendakian kemarin. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kami terus berjalan menyusuri jalanan berbatu, dahaga tak terelakkan, namun apadaya, minuman tidak ada lagi dalam genggaman. Setelah dua jam berjalan kami bertemu dengan mata air, segar sekali rasanya. Sudah lama rasanya kaki ini melangkah, namun tempat yang menjadi tujuan tak kunjung terlihat, ada perasaan kesal, lelah dan menyesal. Tapi semua mendadak hilang ketika tiba di tujuan, Danau Sagara Anak. Luarbiasa, Hamparan kaldera dikelilingi bukit curam menjulang, dengan satu Gunung kecil bernama Barujari, memang benar kata orang, Sagara Anak, secantik itu.


Setibanya di Sagara Anak saya bersama Ursi mendirikan tenda, kemudian pergi mandi sembari mengambil air bersama Deno, pemandian Aia Kalaq (Air mendidih) yang selama ini hanya bisa saya lihat dari media sosial, akhirnya juga bisa saya rasakan. Sebuah sungai kecil dengan airnya yang hangat, sangat membantu memulihkan kembali tenaga yang sudah habis. Setelahnya kami kembali ke tenda dan bersiap memasak, rupanya kami bertetangga dengan orang baik, tenda sebelah memberikan hasil tangkapan ikan yang mereka pancing di danau, jadilah malam itu kami makan enak. Ritual makan sudah selesai, kami mengobrol sembari menunggu kedatangan Vika, Fina dan Ridwan. Ternyata mereka tidak jadi turun karena kondisi fisik yang tidak lagi memungkinkan. Perasaan saya agak tidak enak, rasanya ingin sekali segera melihat kondisi kawan-kawan, tapi karena hari sudah malam, saya memutuskan untuk beristirahat sebelum besok pagi-pagi turun.

Komentar

  1. Unforgettable journey! Aamiin Allahumma Aamiin untuk kalimat terakhir paragraf 5

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh