Langsung ke konten utama

Memaknai Rinjani #3

 ‘’TOREAN YANG INDAH DAN MISTIS”


Saya dan Deno memutuskan untuk turun berdua, sementara Nova, Weni dan Ursi menginap satu malam lagi di danau (Mengingat kondisi mereka yang masih kelelahan). Karena berbagai macam pertimbangan, jadilah kami turun melewati jalur Torean (Jalur yang belum diresmikan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani). Hal ini kami lakukan atas pertimbangan waktu, mengingat jika harus naik ke Plawangan kembali, kami butuh waktu 6-8 jam, sementara dari Plawangan menuju pemukiman warga juga membutuhkan waktu 8-10 jam, tentu ini akan memaksa kami bermalam satu malam lagi, sedangkan persediaan logistik sudah habis. Berdasarkan info yang kami peroleh, untuk jalur torean sendiri bisa ditempuh dengan waktu yang lebih cepat, yakni 6-9 jam saja. 

Langkah kami percepat, karena tampaknya kami berdua adalah orang terakhir yang turun, sedangkan untuk jalur sendiri kami masih sama-sama buta. Ada perasaan takut, khawatir dan cemas menyelimuti jiwa, tapi kami mencoba untuk tetap waras, karena yang paling penting adalah menjaga kewarasan agar tetap tenang menghadapi berbagai macam rintangan. Kami sudah seperti ninja hatori yang mendaki gunung, melewati lembah hingga menyebrangi sungai. Pemandangan yang ditawarkan indah sekali, namun juga terasa mistis sekali. Setelah lama berjalan, kami tiba di sebuah tebingan yang dinamakan tebingan “Sirattal Mustaqim” musabab jalur yang dilewati sempit sekali, sementara di sebelah kanan sudah tersedia jurang yang siap merenggut nyawa kami jika tidak berhati-hati. Hujan mulai mengguyur, kami bertemu dengan rombongan dari Bali, mengobrol sebentar sembari menghisap rokok, “Sebats dulu” bahasa keren nya. Setelahnya kami pamit mendahului, saya dan Deno tidak lagi berdua, ada satu orang laki-laki yang ikut bersama kami, karena beliau ditinggalkan oleh rombongan, sungguh hal yang disayangkan.


Kami mulai masuk ke dalam hutan yang gelap sekali, hujan berhasil menambah situasi semakin mencekam, namun kami coba untuk tetap tenang. Sebelum akhirnya hal yang tidak diinginkan terjadi, kami kehilangan arah dan tersesat kurang lebih satu jam, masih beruntung ada pendaki lain yang lewat, sehingga kami berhasil menemukan jalur yang semestinya. Saya berjalan agak cepat, sementara Deno dan seorang kawan yang bernama Angga masih berada di belakang. Hari mulai menunjukkan pukul 6 sore, tandanya sebentar lagi akan gelap. Sialnya, saya salah masuk persimpangan, yang harusnya belok ke kiri, tapi saya malah ke kanan. Ada perasaan aneh dan ragu ketika saya berjalan, tapi entah kenapa saya terus saja melangkahkan kaki, sebelum akhirnya bertemu dengan jalur buntu. Perasaaan takut, khawatir tak terelakkan, saya coba untuk berteriak mencari pertolongan, Deno dan Angga yang berada di belakang juga tak sekalipun menyambut sahutan saya. Saya fikir riwayat saya akan tamat, dan berakhir di hutan Torean yang mistis, tapi ternyata Tuhan masih sayang, saya diberi kekuatan untuk kembali berjalan ke belakang, sebelum akhirnya menemukan jalan yang benar, Alhamdulillah. Yang menjadi menarik adalah, saya berhasil menemukan jalan yang benar setelah melihat sampah yang berserak di jalur pendakian (Terima kasih banyak kepada orang yang sudah membuang sampah, walaupun tindakan ini tidak dibenarkan).


Jam tujuh malam saya berhasil keluar hutan, Sementara Deno dan Angga masih jauh dibelakang. Setelah bertemu pemukiman penduduk, saya coba untuk bertanya berapa lama lagi waktu yang dbutuhkan untuk sampai di jalan raya, katanya kurang lebih 8 Kilometer. Nyali saya seketika menciut, namun perjalanan harus dilanjutkan, beruntung masih ada cahaya senter yang membantu menerangi jalan, sepanjang jalan gelap sekali, belum lagi gonggongan anjing setiap kali saya melewati rumah warga. Seumpama oase di musim panas, Deno dan Angga datang dengan menggunakan ojek, saya pun ikut menumpang hingga tiba dipersimpangan jalan raya.


Setelahnya saya dan Deno menunggu tumpangan di pinggir jalan, sementara Angga memilih menggunakan jasa ojek menuju desa sembalun. Tidak berselang lama akhirnya mobil yang kami harapkan tiba, kami diberi tumpangan gratis, juga diberi rokok sebatang. Bapak-bapak itu baik sekali (Semoga tuhan membalas kebaikan mereka, Aamiin). Setelahnya kami tiba di penginapan jam 9 malam dengan perasaan campur aduk, bersyukur karena Vika, Fina dan Ridwan sudah tiba di penginapan. Bapak angkat kami menyambut dengan lega, kami memesan makanan dan air hangat untuk memulihkan tenaga, bersih-bersih dan istirahat. 



“REUNI SEMERU”

Pagi menyingsing, beriringam dengan matahari yang mulai naik. Vika, Fina dan Ridwan sedang berkemas karena siang ini akan melanjutkan perjalanan ke Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat. Sementara saya dan Deno masih akan bermalam satu hari lagi sembari menunggu Weni, Ursi dan Nova turun dari puncak. Seberes sarapan, tiga orang teman yang akan melanjutkan perjalanan pamit undur diri, ada perasaan haru dan sedih, karena harus berpisah setelah hampir satu minggu bersama (semoga kelak bisa bersua kembali, Aamiin).

Tak lama berselang hujan lebat mengguyur sembalun, seakan mengisyaratkan kesedihan yang juga dirasakan. Saya bersih-bersih pakaian dan badan, sementara Deno masih tidur-tiduran di penginapan. Perut yang belum terisi mulai bersuara, memberi kode agar segera diberi asupan makanan. Jam dua siang kami menuju warung makan andalan (Mba Via) setelahnya duduk-duduk di Rest area sembalun sembari menunggu ketiga orang sahabat lama yang akan hendak mendaki Rinjani, mereka adalah Fitri, Vivid dan Asri, tiga orang gadis mengagumkan asal kota kembang dan Serang. Hampir dua jam menunggu akhirnya mereka nongol juga dari kejauhan sembari melambaikan tangan, setelah nya kami dibawa menggunakan mobil ke SAR (Sekolah Alam Rinjani) besutan Bang Noji dan kawan-kawan, mengagumkan sekali. Membuktikan betapa masih banyaknya orang yang peduli terhadap pendidikan, Luarbiasa !. Sesampainya di rumah singgah, kami disuguhi kue dari bandung yang dibawa Fitri, enak sekali. Kami mengobrol banyak seputar Rinjani dan barangtentu bernostalgi pendakian satu tahun silam di Semeru, Ya, Asri dan Fitri adalah sahabat saya yang sama-sama membersamai menuju atap tertinggi Pulau jawa. Sementara Vivid waktu itu tidak jadi berangkat karena suatu dan lain hal. 


Malamnya kami makan nasi goreng di warung Bang Sahil, minum segelas susu hangat yang semakin menghangatkan suasana, betapa menyenangkan bertemu kembali dengan sahabat jauh yang sudah lama tidak bertemu. Setelahnya mereka pamit menuju rumah singgah sembari mempersiapkan perlanan besok. Saya dan Deno bergegas pulang ke penginapan, sembari berharap Weni, Ursi dan Nova turun, perasaan kami agak cemas karena hingga jam delapan malam mereka tak kunjung pulang. Namun ternyata tuhan mendengar doa kami, setibanya kami di penginapan sudah ada mereka bertiga dengan kondisi yang teramat menyedihkan, bahkan Weni sudah menunjukkan gejala awal Hipotermia, bersyukurnya itu tidak berlangsung lama, setelah makan mie kuah dan menyeduh teh hangat buatan Bapak angkat kami, kondisi mereka bertiga sudah membaik. Tidak banyak yang kami obrolkan, setelahnya kami langsung berangkat istirahat.


Paginya saya kembali mendatangi basecamp Rinjani untuk menemui Asri, Fitri dan Vivid kemudian pergi sarapan, sejurus kemudian mereka bertiga pergi memeriksa kesehatan, sementara saya memilih menunggu di basecamp, setengah jam lebih menunggu tak kunjung tampak di penglihatan, ternyata mereka semua sudah berada di pintu pendakian, Ya sudahlah tidak apa-apa, semoga mereka selamat selama Pendakian, Aamiin.

Lamat-lamat hari mulai beranjak siang, Saya, Deno, Weni, Ursi dan Nova beranjak pergi meninggalkan Sembalun untuk menuju Kota Mataram, perasaan sedih tak terelakkan, betapa desa ini telah memberikan banyak hal kepada kami, kenyamanan, kebaikan dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan, semoga kelak saya bisa kembali lagi ke sembalun.

Hujan kembali turun membasahi bumi, jalanan panjang melewati perbukitan dilewati menggunakan mobil travel yang kami sewa, sorenya tiba di penginapan, menaruh tas, kemudian mencari makan. Sore nya kami berpisah, Weni, Ursi dan Nova pergi menikmati senja di pantai, sementara saya dan Deno melipir menuju Taman kota untuk menikmati suasana malam. Bersyukurnya kami mendapatkan tumpangan bak terbuka, sekali lagi orang asli sini menampakkan kebaikanya. Konspirasi alam semesta berjalan, ternyata Taman kota dekat sekali dengan tempat Vika menginap, hingga akhirnya kami kembali bertemu dan mengobrol banyak seputar pendakian, sembari menikmati Mie ayam. Setelahnya beliau pulang menuju penginapan, pun juga dengan saya dan Deno.  

Komentar

  1. Thank you for sharing your wonderful experience. Bisa jadi contoh recount text untuk mengajar. Aamiin Ya Mujiib untuk segala doa uh dipanjatkan dalam cerita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh