Langsung ke konten utama

Menjemput mimpi di Mahameru #3

“Pulang”

Perjalanan pulang diisi dengan drama-drama yang agaknya menyebalkan, saya dan rombongan memutuskan berpisah ketika di Jambangan, Anfa berjalan lebih dulu, saya menyusul kemudian sembari membawa sekantung plastik sampah ukuran besar, sementara lima orang lainnya jalan terakhir. Saya berjalan cepat, berharap jam 6 sore nanti sudah bisa sampai basecamp dan menyetorkan sampah yang kami miliki, karena seorang dari rombongan kami bilang kalau sampah harus tiba jam 6 sore, itu agar kami tidak dikenakan denda karena lewat dari waktu yang sudah ditentukan.

Di ranu kumbolo saya berhenti sejenak, mengisi air dan beres-beres barang yang kami tinggalkan kemarin. Banyak diantara rombongan pendakian yang juga bersiap turun, tentu dengan kantong sampah yang mereka bawa, saya iseng bertanya mengenai masalah sampah, dari dua rombongan pendakian yang saya tanya, semuanya menjawab bahwa sampah bisa disetorkan besok dan kami tidak akan kena denda. Saya yang mendengarnya girang, setelah itu duduk di pinggiran danau sembari menghisap rokok yang tinggal satu batang. Tak lama kemudian rombongan saya tiba, saya jelaskan masalah sampah, namun tidak ada balasan suara selain raut wajah, saya tidak tahu itu raut wajah lelah atau kecewa, lagi-lagi saya merasa bersalah, (hadeeh susah memang kalau menjadi seseorang yang merasa bersalah).

Karena tidak enak dengan mereka, saya memutuskan berjalan sendiri di belakang dan menjaga jarak dengan rombongan. Sore berganti malam, dengan menggendong carier besar dan sekantung sampah, langkah mulai gontai, tanda kelelahan. Agak was-was ketika melewati jembatan merah, karena disana tempat bersemayam salah satu penunggu Gunung, selain itu juga waspada dengan kehadiran macan kumbang yang tiba-tiba saja datang. Di pos dua saya bertemu lagi dengan rombongan, kemudian kembali berpisah, tepat pukul 8 kami keluar dari lebatnya hutan, langsung menuju basecamp dan merebahkan badan, rencana akan pergi makan dengan Djul, tapi karena badan yang teramat lelah, saya langsung tertidur pulas.


“Selamat tinggal Semeru, sampai jumpa lagi!”

Jam 6 kami semua terbangun dengan keadaan perut teramat lapar, saya dan Djul berinisiatif untuk memasak persediaan makanan yang ada. Nugget, telur dan beberapa potong ayam yang masih tersisa kami olah, dan menikmatinya dengan lahap. Jeep yang akan membawa kami pulang tiba, dengan perasaan hangat, haru dan sedih, kami meninggalkan salah satu tempat terindah yang ada di bumi pertiwi, saya sendiri sudah berjanji pada diri sendiri kalau suatu hari nanti akan kembali lagi.

Setibanya di rumah singgah milik mas Pras, kami bersih-bersih, makan dan malam nya melanjutkan perjalanan menuju Jogjakarta, ya kota wajib yang mesti dikunjjungi ketika sedang mengunjungi pulau Jawa. Kami berangkat jam 8 malam menumpang bus, perjalanan panjang kami tempuh hingga akhirnya tiba jam 6 pagi, langsung dijemput oleh mas Fisun, seorang senior, dan kawan yang mengagumkan.
Siangnya kami jalan-jalan mengitari jogja, alun-alun kidul. Malioboro, kemudian mampir beli buku di taman pintar.
Malamnya nongkrong di angkringan dekat tugu, saya didatangi kedua orang sahabat baik saya, Reshy dan Yusuf, kami mengobrol banyak dan melepas rindu satu sama lain. Besoknya rombongan pendakian pulang, yang tersisa hanya saya dan Gerut, siangnya saya singgah ke UNY, kampus yang begitu sangat saya sukai, disana sudah janjian bersama Ais dan Dian, mereka dua wanita tangguh yang menginspirasi banyak orang, pulangnya saya diberikan Bakpia, enak sekali.

Hari ketiga, selepas salat jumat saya pergi ke benteng Vredeburg bersama Palastria, jalan-jalan dikit di sekitar malioboro, makan bakmi dan nasi goreng, setelah itu pulang ke penginapan. Malamnya ke kedai kopi bersama mas Fisun dan Gerut.
Hari keempat saya berpisah dengan Gerut, ia melanjutkan perjalanan ke Solo. Saya yang tinggal sendiri berinisiatif mencari tiket pulang, akhirnya menemukan bus Putra Raflesia, harganya Rp.550.000. Jam lima sore, saya meninggalkan penginapan, lantas kemudian menuju Terminal Giwangan, diantarkan oleh Mas Fisun, saya berterimakasih banyak pada beliau yang sudah menjamu dengan begitu hangat, jasanya tidak akan pernah saya lupakan.

Bus perlahan berjalan meninggalkan istimewanya kota Jogja, menuju Bengkulu. Perjalanan panjang mesti ditempuh, dengan berbagai cerita yang mustahil terlupakan, tidak mandi selama dua hari, macet selama sebelas jam, sampai peristiwa pecah ban. Hingga akhirnya tiba di rumah tepat setelah azan isya berkumandang.

Saya bersyukur mempunyai banyak teman, sahabat diluar sana yang begitu baik. Perjalanan ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.

Teruntuk Asri, Gerut, Djul, Fitri, Rima, Anfa, terima kasih banyak sudah menjadi rekan pendakian yang luar biasa, bersama kalian saya merasa kuat dan berjalan bersama kalian memberikan banyak pelajaran, bahwasanya berjalan bersama-sama adalah soal bekerja sama, bukan mementingkan ego sendiri.

Teruntuk Mas Fisun, Yusuf, Reshy, Mba Dian, Ais, Tria terima kasih banyak sudah berkenan membersamai saya selama di Jogja.

Teruntuk Mas pras, Kang Parlih, Fadli kalian adalah teman baru yang menyenangkan, semoga suatu saat kita masih dipertemukan dalam jalur pendakian.

Sekian cerita perjalanan saya, semoga bisa bermanfaat untuk kalian yang membacanya.
Salam Lestari,
Peluk hangat dan jabat erat.
Akhmardiansa (Bude)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh