Langsung ke konten utama

Melepas kewajiban di puncak Indrapura #1




"AWAL”

Semesta dengan segala konspirasi di dalamnya selalu membuat penghuninya takjub, skenario yang ada tidak pernah terduga.
Saya menerima notifikasi berupa ajakan mendaki gunung dari seorang rekan pendakian sekaligus Guru saya ketika sekolah dulu, Dempo, adalah gunung yang akan kami sambangi, saya tanpa basa-basi langsung mengiyakan. Seminggu sebelum keberangkatan kami mendapatkan berita bahwasanya gunung Dempo ditutup, musabab statusnya yang sedang waspada. Hingga kami akhirnya memutuskan untuk mendaki Kerinci saja, gunung berapi tertinggi yang ada di Indonesia.


“KEBERANGKATAN”

Hari ketiga lebaran, malamnya kami kumpul di rumah salah satu kawan untuk menyiapkan peralatan dan kebutuhan logistik, rencanaya kami akan berangkat pada besok pagi dengan target tiba di Muko-muko pada sore hari. Seberes menyiapkan peralatan dan membeli logistik, saya pulang dan istirahat. Paginya di jemput Erik, kami kumpul sebentar sembari menunggu teman yang lain, ada dua belas orang di rombongan pendakian kali ini. Saya, Dewa, Gusti, Novran, Deygo, Sanjaya, Ferizka, Selvi, Ari, Erik, Habib dan Dori. Perjalanan menuju Kerinci akan kami tempuh dengan menggunakan sepeda motor. Jam 10 siang kami mulai melakukan perjalanan, suasana lebaran masih terasa, jalanan ramai, sesekali macet. Kami tiba di Bengkulu utara jam 2 siang, salat zuhur kemudian melanjutkan perjalanan. Hujan mengguyur, kadang deras kadang berhenti, karena sudah terlanjur basah, kami tetap berjalan menggunakan pakaian yang sedikit lembab, di Ipuh mampi sebentar untuk salat ashar, jam 7 kami tiba di pom bensin penarik, mengisi bensin sekaligus mengisi perut yang sudah keroncongan. disana saya disambut oleh seorang sahabat baik saya, Aziz Burhanudin, kami mengobrol banyak, walaupun tidak lama tapi hangat sekali, setelahnya kami salat magrib, perjalanan kali ini religius sekali.


Tepat jam 9 malam kami tiba di jantung kota Muko-muko, mencari masjid untuk tempat tidur. Setelahnya sebagian dari kami bersih-bersih, ada juga yang memutuskan untuk langsung tidur. Saya sendiri keliling sebentar mencari kuota, namun tidak ketemu, malam nya saya disambangi seorang teman yang merupakan warga sana, Tri Julia, kami cerita banyak. Mata yang lelah memaksa saya tertidur, hingga terjaga ketika azan subuh berkumandang, salat subuh sebentar setelah itu langsung melanjutkan perjalanan ketika jalanan masih gelap.
Jalanan muko-muko hingga menuju perbatasan Bengkulu-Sumatera Barat kami lahap dengan keadaan masih setengah mengantuk, kami melihat bandara, kecil sekali, namun sangat bermanfaat bagi warga yang hendak pergi ke ibu kota provinsi. Jam 10 kami tiba di persimpangan antara Jambi dan Sumatera Barat, berhenti sebentar sambil makan gorengan. Setelahnya melanjutkan perjalanan panjang, membelah hutan taman nasional Kerinci Seblat, jalan nya kecil sekali dan banyak bekas longsor, tidak hati-hati fatal akibatnya. Di tengah jalan kami melewati salah satu spot wisata terbaik disana, bukit kayangan, pemandangan yang di tawarkan amat indah. Tepat jam 1 siang kami tiba di Kabupaten kerinci, mampir sejenak di warung bakso untuk mengisi perut, harganya Rp. 15.000. Perut terisi dan semangat timbul lagi, jam 2 siang kami tiba di pos pendakian, menitip motor dan foto-foto di depan gerbang selamat datang, untuk sampai ke sini sendiri kami kurang lebih menghabiskan uang Rp. 100.000 untuk membeli minyak., sementara penginapan kami menjadikan masjid sebagai tempat ternyaman.


“KERINCI”

Cuaca mendung ketika langkah kaki mulai digerakkan, sesekali gemuruh petir bersahutan, puncak kerinci yang gagah masih tertutup oleh kabut, di waktu yang semakin sore, kami mencoba untuk berjalan ngebut. 30 menit pertama kami tiba di pos 1 bangku panjang, benar saja, disana ada kayu rubuh yang bisa dijadikan tempat duduk untuk istirahat. Setelahnya kami berjalan kembali, jalur masih terbilang landai, satu jam adalah waktu yang mesti kami tempuh menuju pos 2 batu lumut, buliran air jatuh dari langit, menandakan hujan akan segera turun, kami menggunakan mantel setelah itu berjalan kembali menembus lebatnya hutan. Sekitar jam setengah 6 kami tiba di Pos 3 Pondok panorama, disini banyak pendaki yang beristirahat, salah satunya adalah kelompok pendaki dari Jakarta, mereka berangkat lengkap satu keluarga, ada ayah, ibu, kakak, dan adek, benar-benar mengagumkan. Setelah saya tanya-tanya lagi, saya kembali tercengang, di usia mereka yang baru 5 tahun dan 8  tahun , sudah mendaki Gunung Rinjani dan Latimojong, dua puncak tertinggi dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia (Haduh Rinjani, gunung yang menjadi impian saya setelah Semeru).

Selepas mengobrol panjang kami turun ke bawah untuk mengambil air, jaraknya lumayan jauh, sekitar setengah jam. Karena menimbang Pos 3 bukanlah tempat terbaik untuk mendirikan tenda, musabab disini masih banyak hewan buas yang berkeliaran, dan yang paling terkenal tentu Harimau Sumatera. Kami memutuskan untuk tetap berjalan di suasana yang sudah gelap, headlamp dan senter di hidupkan, perlahan demi perlahan langkah kaki ditorehkan. Jam 10 malam kami tiba di Shelter 1, tapi karena tempat camp yang sudah ramai, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, hujan kembali mengguyur dengan intensitas sedang, setelahnya berhenti lagi. Tepat pada pukul 12 malam, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat yang tidak cukup strategis, tidak ada pilihan lain, karena sebagian dari kami sudah lelah dan mengantuk, termasuk saya sendiri. Beres-beres, makan malam yang terlambat dengan menu mie instan dan sambal tempe goreng yang kami bawa sedari Bengkulu. Kantuk yang tak tertahan memaksa kami untuk merebahkan badan hingga tertidur pulas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh