Langsung ke konten utama

Melepas kewajiban di Puncak Indrapura #2



Pagi menyingsing, badan yang teramat lelah membuat saya bangun agak kesiangan, jam 8 pagi. Setelahnya kami bersiap-siap untuk sarapan, mengemas barang dan melanjutkan perjalan menuju Shelter 2. Jalur yang awalnya landai tidak lagi ramah, tanjakan demi tanjakan kami lewati dengan nafas terengah-engah, beruntung cuaca cerah, jadi jalur tidak begitu becek. Di tengah perjalanan ada salah seorang dari kelompok kami yang mengeluh sakit perut, hingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan berhenti sejenak, lumayan lama, sebelum akhirnya beliau kuat untuk melanjutkan perjalanan. 4 jam perjalanan adalah waktu yang harus kami tempuh hingga tiba di Shelter 2, disana kami memasak, makan siang dan santai-santai sejenak. Jalur sebelumnya ternyata belum ada apa-apa dibanding jalur dari Shelter 2 menuju Shelter 3, merangkak, menunduk, adalah ritual yang mesti kami lakukan, musabab banyak sekali jalur yang tertutupi oleh akar pohon, yang paling terkenal adalah “Lorong tikus”, untuk melewati nya kita harus ekstra sabar dan butuh banyak tenaga. Ada yang berseloroh diantara kami “Kadang-kadang saya berpikir, apa gunanya kita mendaki gunung, melewati jalur terjal, menantang bahaya, belum lagi resiko-resiko yang tidak terduga, saya tidak bisa membayangkan kalau orang tua kita tahu apa yang kita lewati ini”ucapnya sambil tertawa, kami yang mendengarnya pun menyambut dengan tawa. Rasa-rasanya memang seperti itu, mungkin sebagian dari rekan pendaki juga punya asumsi yang sama, tapi entah mengapa kita selalu saja ingin dan ingin kembali ke gunung, saya yakin kawan-kawan pasti punya alasan tersendiri untuk itu.



“PUNCAK INDAPURA”

Kami tiba di Shelter 3 jam setengah tiga sore, disana langsung mendirikan tenda dan memasak, setelahnya foto-foto dan mengobrol dengan rekan pendakian yang lain, cuaca cerah, namun sebagian tertutup oleh kabut. Sang empu nya cahaya pulang ke peraduan, menciptakan pemandangan yang membuat kami semakin percaya keagungan tuhan. Setelahnya kami bersiap untuk tidur, musabab harus bangun pada dini hari untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kadang terjaga, kadang tertidur, cuaca yang teramat dingin benar-benar membuat tidur tak nyenyak, jam 3 pagi alarm berbunyi, tanda kami harus segera bangun, saya berinisatif untuk memasak, sementara beberapa dari kami masih tertidur, setelahnya kami makan lumayan banyak untuk menambah energi, menggunakan jaket tebal dan celana berlapis, kami melangkahkan kaki menuju puncak berapi tertinggi Indonesia. Doa sudah dihaturkan, semua nya kami serahkan pada tuhan, di sepanjang perjalanan sedikit antre, suasana seperti pasar, tapi suasana tetap mencekam, kami harus menembus kabut dan berteman dengan dinginnya angin malam, di sebelah kiri dan kanan, jurang sudah terpampang, tidak hati-hati, fatal akibatnya. 2 jam perjalanan sudah ditempuh, namun belum ada tanda-tanda akan tiba, kami sempat ingin menyerah, namun karena semangat yang disalurkan kawan-kawan pendaki lain, kami akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan langkah. Sebelum menuju puncak, kami mampir sejenak di Tugu Yudha, tugu ini dibuat untuk mempertingati salah satu pendaki dari jakarta yang hilang di Kerinci, terhitung sudah lebih dari dua puluh tujuh tahun ia menghilang (Berpisah dengan rombongan sejak tanggal 23 Juni 1990), hingga saat ini keberadaan nya masih belum ditemukan, doa terbaik kami haturkan, semoga ia tenang dalam keabadian. Setelah beres berdoa, saya melanjutkan perjalanan, hinga akhirnya tepat pada jam 8 pagi, saya tiba tanah berapi tertinggi se Asia tenggara, haru, sedih, lelah, bangga semua bercampur aduk, tak henti-hentinya saya memanjatkan syukur pada sang pencipta. Dari kejauhan danau gunung tujuh terpampang nyata, gagah sekali, (semoga suatu saat saya bisa menyambanginya, Aamiin). Puncak kerinci benar-benar gagah, kabupaten Kerinci dan Sungai penuh terlihat mesra, di bawanya gugusan kebun teh memanjakan mata. Setibanya seluruh rombongan di puncak, kami berfoto, menikmati suasana hingga memutuskan untuk turun. Di puncak saya bertemu dengan seorang pendaki dari Jogjakarta, Mba Fitri, kami berfoto dan bertukar kontak.
Dengan perasaan lega kami turun menuju Shelter 3, cuaca kadang cerah, kadang berkabut, khas gunung Kerinci. Setelah berjalan lama, kami tiba di tenda jam 12 siang, beres-beres, tidur sejenak dan memasak, kemudian bersiap turun menuju basecamp, Kerincii, saya akan datang kembali suatu saat nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh