“RANU KUMBOLO”
Tepat jam 11 siang kami memulai pendakian menuju Ranu kumbolo, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan indah, jalur terbilang landai, walaupun agak melelahkan. Dari pos satu hingga pos empat banyak warung yang berjejer menjajakan makanan, sangat menggoda, apalagi semangka. Jam setengah 5 Ranu kumbolo sudah mulai terlihat dari kejauhan, kami berfoto-foto, jalan lagi hingga tiba menjelang magrib. Disana sudah banyak tenda tersusun, kami mendirikan tenda, memasak dan tidur-tiduran sebentar. Malamnya cuaca sangat mendukung, kami menikmati cahaya bulan purnama dan ribuan bintang di atas ketinggian 2.600an Mdpl. Setelah beres membuat kopi, kami kedatangan tamu dari tenda sebelah, anak asli malang yang ramah. saya juga sempat mengobrol dengan penjaga toilet di Ranu Kumbolo, ya disana ada toilet yang sekali masuknya mesti membayar Rp5.000, di depan api unggun kami bercerita banyak tentang desa sekitar, ada juga Fadli dan Parlih pendaki asal Bogor dan Jakarta yang ikut menimbrung. Karena sudah akrab, saya tidak dikenakan biaya setelah menggunakan toilet. Sekitar jam 11 malam kami tidur, semuanya kelelahan.
“KEESOKAN HARINYA”
Jam setengah 6 saya buru-buru bangun, keluar dari tenda untuk menikmati mentari pagi, suasana Ranu Kumbolo benar-benar syahdu, menenangkan dan mengagumkan. Setelahnya saya berjalan menyisir danau, mengambil air minum untuk keperluan memasak dan cuci muka. Pagi itu kami memasak sup ayam dan telur goreng untuk keperluan tujuh orang, kami juga menyempatkan untuk membuat nutrijel sebagai makanan pencuci mulut, namun tidak kesampaian karena nutrijel nya tumpah oleh saya, sungguh saat ini saya amat merasa bersalah, sebagain dari kawan-kawan raut wajahnya mendadak berubah, tidak mengenakan sekali. Ritual mengisi perut selesai, kami beres-beres dan berfoto dengan latar belakang danau, cuaca amat cerah.
Perjalanan dilanjutkan menuju pos selanjutnya, Oro-oro ombo, sebuah sabana luas dengan bunga verbena, orang sering menyebutnya lavender, mungkin karena warna nya yang berwarna ungu dan bentuknya yang mirip. Di ujung jalan sudah ada sebuah warung, kami makan semangka dan beberapa gorengan. Setelahnya berjalan menuju cemoro kandang, jalurnya lebih berat, menanjak namun teduh karena dilindungi rimbun pohoin cemara. Di sepanjang jalur kami banyak istirahat, merebah di setiap pohon besar yang menggoda. Tiba di jambangan sekitar pukul 1 siang, kami makan siang, menunya sama dengan sarapan tadi pagi. Dari sini kegagahan puncak Mahameru sudah terpampang nyata, indah sekaligus mengerikan. Kami berjalan dan berjalan hingga tiba di camp terakhir untuk mendirikan tenda, Kalimati. Sebagian mendirikan tenda, sebagiannya lagi mengambil air di Sumber manik. Setelah tenda beres, kawan-kawan langsung masuk ke dalam tenda dan beristirahat, saya masih diluar, menikmati suasana dan mendengarkan obrolan mereka dengan seksama. Masih dengan perasaan bersalah yang belum usai setelah kejadian tumpahnya nutrijel tadi pagi. Setelahnya saya sendiri berjalan menyusuri kalimati, mampir ke tenda Parlih dan beberapa orang kawan nya, disana juga ada pendaki dari Jakarta, lamongan dan Bandung. Sembari menghisap rokok dan menikmati secangkir kopi yang disediakan, kami mengobrol banyak tentang sepakbola, tentang gunung dan tentang wajah Indonesia seutuhnya. Ada satu orang pendaki asal bogor yang baru saja tertimpa musibah, kedai pangkasnya kebakaran sebelum berangkat, namun ditinggalkannya begitu saja demi menyambangi tanah tertinggi jawa, luar biasa.
Udara mulai dingin saya kembali ke tenda, membentang matras dan mengambil Sleeping Bag, saya memutuskan untuk tidur di luar saja, karena kondisi tenda yang tidak memungkinkan diisi banyak orang. Sebelumnya saya pergi mengambil air di sumber manik, sendiri saja, ikut bergabung dengan rombongan pendaki lain, perjalanan lumayan jauh, agak was-was karena konon katanya masih banyak macan kumbang yang berkeliaran, dan sumber manik adalah tempat mereka minum. Kami memasak seadanya, setelah itu tidur, suasana diluar dingin sekali, namun saya coba untuk menikmatinya, itung-itung beradaptasi dengan cuaca.
“Puncak Para Dewa 3676 Mdpl
Alarm berbunyi tepat pukul 11, saya sendiri sebenarnya tidak tidur, hanya tidur ayam. Setelahnya kami semua bersiap-siap, mengguinakan baju berlapis-lapis dan jaket tebal. Berdoa dan pemanasan kecil, jam setengah 12 malam kami memulai perjalanan menuju puncak. Saya berada di barisan tengah, paling depan ada Anfa, rekan pendakian asal Jakarta, diikuti oleh Fitri, Rima, Saya, Djul, Asri dan Gerut di paling belakang. Suasana malam yang dingin agak mecekam ketika kami mulai memasuki kawasan Arcopodo, suasan mistis benar-benar terasa, musabab blum banyak rombongan pendaki lain yang melakukan perjalanan. Beberapa dari kami mulai berpisah, tiba di batas vegetasi sekitar jam 1 malam. Dari sana sudah tidak ada pepohonan lagi, jalur berganti dengan pasir dan batu-batu kerikil, sangat menyulitkan, dua langkah berjalan, satu langkah kembali turun. Beberapa kali saya sempat tertidur di jalur pendakian, dingin, lelah, mengantuk bercampur padu, namun karena tidak boleh terlalu lama berhenti saya terus melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan bertemu Gerut, rekan pendakian saya, ia terlihat amat lelah sekali dan tertidur di gundukan pasri, saya coba untk menanyakan keadaanya, katanya tidak apa-apa. Setelahnya saya duduk sejenak, mengamati bintang-bintang dan bulan yang cahaya nya menerangi gelapnya malam, saya melihat feomena yang luar biasa, sinar matahari mulai terlihat bertepatan dengan bulan yang mulai menghilang, indah sekaali.
Waktu sudah menujukkan jam 6 pagi, saya sudah bertemu dengan rombongan, kemudian berpisah lagi. Saya berhenti sebentar untuk menunaikan salat Subuh, betapa indah dan intim nya salat di atas tanah tertinggi pulau jawa, saya begitu mensykuri karunia tuhan. Puncak sudah mulai terlihat, namun langkah kaki terasa semakin berat, sesekali merangkak, hingga tepat pukul 7 pagi kami semuanya tiba di pucak para dewa, perasaan bangga, harus, sedih, lelah bercampur aduk. Duduk-duduk sebentar, kemudian berfoto-foto, mengabadikan kenangan melalui otak dan bidikan kamera, setelah menunggu setengah jam, Gerut masih belum tampak di puncak, menimbang cuaca yang mulai dingin, walaupun hari amat cerah, kami memutuskan untuk turun. Berjalan selama kurun waktu 8 jam untuk mendaki, namun hanya membutuhkan waktu dua jam untuk turun. Di perjalan turun kami bertemu Gerut yang baru akan memuncak, karena jalur yang berpasir, kami turun sambil berlari dan main-main, namun tetap dalam kewaspadaan, takut kalau sampai salah jalur. Di kawasan Arcopodo kami bertemu pedagang yang menjual makanan dan air mineral, makan sebentar , harganya Rp10.000-15.000 untuk satu bungkus kecil. Jam 11 siang kami tiba di tenda, tanpa bicara semua langsung istirahat dan tidur, jam 1 bangun, beres-beres dan bersiap turun, saya meninggalkan celana yang digunakan tatkala menuju puncak, musabab sudah sobek karena perosotan di pasir.
Komentar
Posting Komentar