Langsung ke konten utama

Menjemput mimpi di Mahameru #1

“LANGKAH”

Ketika saya menerima pesan dari seorang kawan yang mengajak mendaki Gunung Semeru bersama beberapa teman orang lainnya, saya tidak berpikir panjang dan langsung mengiyakan ajakan. Kapan lagi bisa mendaki ke puncak tertinggi pulau jawa, disamping itu Semeru juga merupakan gunung yang sudah saya idam-idamkan sejak sekolah menengah atas. Katanya kami akan berangkat seminggu setelah lebaran idul fitri. Jarak dari Bengkulu menuju Malang sangat jauh, ada banyak alternatif transportasi, tapi saya memilih naik bus hingga sampai ke Jakarta, setelahnya melanjutkan perjalanan menumpang kereta. Sembari menunggu waktu yang masih satu bulan lagi, saya mulai menghitung dana yang mesti dipersiapkan, kira-kira Rp. 2.000.000 untuk biaya perjalanan dan makan.



“MENABUNG”

Dua minggu sebelum keberangkatan saya menerima gaji dari hasil kerja saya menjadi petugas pemilu, ditambah gaji dari sekolah, Hasilnya terkumpul Rp. 2.500.000. Saya juga menyiapkan dana tak terduga jika seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan. Setelah uang terkumpul, langkah terakhir adalah meminta izin dari orang tua, saya bersyukur mempunyai orang tua yang tidak pernah melarang-larang, silahkan mau pergi kemana saja, yang penting tahu batasan dan tanggung jawab. Sebagai gantinya saya berencana akan membawakan buah tangan ketika pulang.


“MEMULAI”

Tanggal 11 Juni sore, saya dijemput oleh Dimas, sahabat terbaik sedari kecil, ia akan mengantarkan saya ke tempat menunggu bus. Rencana perjalanan sedikit berbeda dari rencana awal, kalau awalnya saya berencana langsung menuju Jakarta, namun urung dilakukan karena kehabisan tiket bus. Untungnya masih ada bus yang menuju Lampung, jadi saya akan singgah dulu, sembari bertemu dengan kawan-kawan.
Hari hujan deras ketika bus yang saya tunggu tiba, tanpa melihat keadaan di dalamnya, saya langsung naik, membayar ke kondektur sebesar Rp. 160.000. Sempat terjadi keributan kecil antara penumpang dengan kenek, dikarenakan kondisi bus yang bocor dan penumpang yang melebihi kapasitas.
Saya sendiri tidak dapat kebagian kursi utama, jadi terpaksa duduk di kursi cadangan yang jauh dari kata layak, tidak masalah, yang penting bisa sampai Lampung dengan selamat.
Pukul 2 siang bus tiba, sedikit molor dari jadwal, saya dijemput oleh seorang kawan yang mengagumkan bernama Ilham, diantar menuju kos, bersih-bersih sedikit, kemudian lanjut nongkrong di kedai kopi. Saya, Ilham, Dama, Indah dan Aji, serta satu orang teman lagi yang saya lupa namanya, kami mengobrol banyak, hangat sekali, tanpa terasa sore akan berganti malam. Di terminal Rajabasa saya izin pamit menuju pelabuhan, dengan menumpang bis yang jauh lebih layak dari bis sebelumnya, ongkosnya sebesar Rp.25.000. Di jalan sempat pecah ban, sembari menunggu ban diganti, saya makan nasi goreng yang dibeli sebelum naik bus. Setelah dua jam perjalanan akhirnya tiba di pelabuhan Bakauheni, mencari informasi tentang pemesanan tiket, harganya Rp.43.000.


Kapal penuh sesak, saya langsung merebahkan badan di tempat yang sudah disediakan, langsung tertidur karena lelah sekali, hingga harus dibangunkan oleh pengawai kapal. Setibanya di pelabuhan merak, duduk-duduk dulu sembari menunggu subuh. Setelah itu berjalan menuju stasiun merak, sempat salah jalan, tidak sengaja bertemu dengan bapak-bapak, ia baik sekali, membelikan tiket untuk saya, harga nya Rp.3.000. Jam 7 saya tiba di Stasiun Rangkasbitung, kemudian melanjutkan perjalan menuju Stasiun Pasar Senen, membeli tiket seharga Rp.18.000.

Jam 11 tiba di Pasar senen, didatangi oleh beberapa orang kawan, Yuli, Lilah dan Adit dari Uhamka, mengobrol banyak di tengah cuaca Jakarta yang amat panas. Sekitar jam 2 siang rombongan pendakian sudah berkumpul, Djul, Asri, Rima, Gerut, Fitri dan ada Vvit yang hanya mengantar ke Stasiun, ia sebenarnya ingin berangkat, namun tidak jadi karena mendadak sakit.

Kereta mulai jalan  menuju Malang pukul 3 sore, kami membeli tiket seharga Rp.115.000.
Di dalam kereta rupanya Asri sudah membawa nasi bungkus, kami makan dengan lahap sekali, kemudian mengobrol seputar kehidupan, malamnya makan Pop mie.
Otot perut mulai mengencang, sementara otot mata mulai mengendur, sebagian dari kami tertidur ala kadar hingga pagi menjelang. Jam 8 pagi tiba di Stasiun Malang, makan nasi goreng dan minum es teh di tempat Bu Ani, hargnya murah sekitar Rp.15.000. Malang rupanya dingin sekali, kami langsung mencari angkot untuk menuju daerah tumpang, setelah negosiasi, kami mendapatkan harga Rp120.000 sekali jalan. Di pasar tumpang belanja banyak kebutuhan logistik, setelah itu diantarkan ke rumah singgah Mas Pras, sekaligus orang yang kelak mengantarkan kami menuju Ranupani.

Bersih-bersih, setelah itu makan nasi pecel dan bakso malang, penjual nya ramah sekali, kami diberi kerupuk dengan cuma-Cuma. Jam 9 malam jeep membawa kami ke desa Ranupani, harga perorangnya Rp.70.000. Sepanjang perjalanan diguyur gerimis, namun hangatnya obrolan mengalahkan dinginnya malam. Tiba di basecamp pendakian, kami langsung istirahat, tidur dengan keadaan susun dencis, paginya registrasi, antrean sangat panjang, setelah itu makan pagi yang kami beli seharga Rp.10.000 per bungkus. Terakhir kami mengikuti briefing wajib sebelum memulai pendakian. Kami membali tiket masuk kawasan seharga Rp.70.000 untuk waktu tiga hari.

Komentar

  1. Luar biasa legend yang satu ini, aktivis yang saya kagumi, semoga engkau kelak bisa datang ke kampung halaman ku di Aceh
    . Saya tunggu legenda imapesi. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai kapanpun aceh akan selalu berada di dalam hati, sesegera mungkin diri ini menuju serambi Mekkah :). Mohon doanya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh