Langsung ke konten utama

Melelahkan

Betapa melelahkan menulis surat untuk seseorang yang tidak gemar membaca, melukis kebaikan untuk seseorang yang tidak suka pada lukisan. Betapa sia-sia menunggu seseorang yang tidak pernah menganggap berartinya sebuah penantian. Betapa bodohnya aku yang selalu bersedia melakukan itu.


Aku lelah dengan semua perjalanan yang dipersembahkan semesta, tentang apapun antara aku dan kau. Maksudku, antara aku dan perasaanku padamu. Aku dan kau ? merasa aku pernah ada di hidupmu saja kau tidak.


Tapi, seperti itulah aku. Memaki namun mencari, dan selalu, aku menemukanmu begitu terlambat. Atau itulah jalan terbaik yang diberikan semesta. Kau dengannya setelah kemarin menangis tersedu-sedu dihantam pilu, mencurahkan segala yang kau punya denganku, hanya denganku.


Kau bilang sama sekali tidak tertarik, bahkan menghiraukan nya saja kau tidak. Seperti film yang bolak-balik diputar, aku selalu tahu bagaimana akhirnya. Kau kembali pergi dan aku kembali menunggu sesuatu yang sedari awal tidak kucari, aku menemukan.


Semua hal ini awal-awal membuatku payah, merunut kembali langkah yang berserakan tak tahu arah. Ada hasrat dalam kepala untuk mengingat banyak kejadian, terutama kenangan-kenangan bersamamu yang terlanjur membekas dan tak mau hilang. Baiklah, aku yang akan beradaptasi semisal kenangan itu kembali datang. Tidak, aku tidak akan mengusir paksa pikiran-pikiran itu, aku akan berteman dengan memaknai hikmah nya dengan sebaik-baiknya hikmah.


Aku akan baik-baik saja, selayaknya hidupmu sekarang meski ada atau tidaknya aku. Sudah waktunya aku untuk terbiasa, bukan melupakan. Sudah waktunya melakukan perjalanan untuk kehidupan-kehidupan yang baru.


-SabarHati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permulaan

Bagi sebagian orang, malam selalu menjadi waktu terbaik untuk merebahkan lelah setelah seharian bergulat pada kerja, untukku tidak demikian. Malam adalah waktu terbaik untuk aku bercerita dan mendengarkan ceritamu. Setiap malam, setelah tubuh berada di ujung lelah, kau hadir walau hanya lewat suara.  Kau bercerita tentang bagaimana harimu, tentang sebanyak apa kegelisahan-kegelisahan yang kau temui sepanjang hari. Aku dengan antusias mendengar setiap untaian kata yang kau bicarakan. Setelah semua hal dirasa selesai, kau pamit untuk melanjutkan cerita ini dari dalam mimpi. Aku mengiyakan sembari menitipkan sepucuk rindu dari balik awan, berharap akan kau temui besok pagi dari balik tumbuhan yang kau rawat dengan sepenuh hati.  Kufikir, setelah perbincangan-perbincangan sebelum tidur yang rutin kita lakukan, selepas aku menjadi tempat segala keluh kesahmu tercurah, aku akan menjadi satu-satunya di hatimu. Kau bercerita tentang banyak hal, tentang kesalahan di masa lalu yang tidak akan ka

Sendu

 Sore tadi mendung, dan seketika hujan turun dengan lebat. Tiba-tiba, diatas kendaraan roda dua yang kukendarai, sekelebat kenangan menerobos masuk begitu saja tanpa permisi. Kita memang seperti hitam dan putih ya ? Jujur, sampai saat ini aku masih belum mengerti, mengapa dulu kau izinkan orang yang hidupnya sehampa aku masuk ke dalam hidup yang begitu ramai. Aku tak mengerti mengapa dulu kau berikan aku banyak perbincangan baik dan kopi yang hangat. Dan aku lebih tidak mengerti mengapa setelah itu semuanya lepas seperti benang yang sengaja diputus, kertas yang sengaja dirobek tanpa pernah memberi penjelasan mengapa semuanya harus dilakukan. Aku ingat, kau ingat tidak ? Dulu, kau pernah mengingatkan aku. Yang nadanya se-khawatir ini : “Kalau udah sampai rumah, ngabarin itu gapapa loh yaa” Yang kemudian aku balas dengan senyum sepanjang hari dalam diri. Lantas, sekarang mengapa nada nya menjadi sepilu ini : “Kau apa kabar ? aku dengar kau sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Ann” Yang c

Memaknai Rinjani #1

"AWAL” Setelah berhasil menginjakkan kaki di puncak berapi tertinggi di Indonesia (Kerinci 3805 Mdpl). Kemudian dilanjutkan dengan puncak berapi tertinggi ketiga (Semeru 3676 Mdpl). Perasaan untuk menyambung silaturahmi ke tanah berapi tertinggi kedua (Rinjani 3726 Mdpl) pun hadir. Ada perasaan yang sulit sekali untuk diterjemahkan, entah mengapa Rinjani selalu membuat mata terpanah ketika melihat keindahan alam nya, walaupun hanya dari layar kaca. Semua berawal dari bulan April, 2020. Saya menghubungi beberapa orang kawan untuk ikut serta, gayung bersambut, ternyata kami punya impian yang sama. Waktu berjalan, rencana awal mendaki di bulan Juni harus pupus karena pandemi, dengan berat hati kami coba mengikhlaskan. Semula tidak ada niatan untuk mengubah jadwal pendakian, tapi seiring waktu berjalan, rencana yang hancur disusun lagi puing demi puing, Desember, adalah waktu yang kami pilih untuk mengunjungi Rinjani ! Seminggu sebelum berangkat banyak sekali halang rintang yang mengh